"Bisakah kau jelaskan kenapa kembang kertas ini harus berwarna merah muda?" tanya Mukti kepada sang ayah.Â
"Ini lambang cintaku pada ibumu," jawab si Ayah singkat.Â
"Sampai kapan kau akan membawakan kembang kertas merah muda ini untuk Ibu?"Â
"Hmm ... bisa saja selamanya. Atau entahlah, aku pun tak tahu." Beberapa saat berlalu, ayah-anak itu tak melanjutkan pembicaraan. Mukti tak ambil pusing, sebab di pikirannya hanya ada Ratinem dan hanya Ratinem. Jika ada pikirannya yang lain, tentu saja tentang untaian melati yang hingga kini masih ia ronce tanpa rasa bosan.Â
Mukti semakin menggila seiring dengan sikap dingin Ratinem kepadanya. Mukti sungguh-sungguh ingin mencairkan gunung es Ratinem dengan kembang melatinya. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan dan mengabaikan kesehatannya. Konyol! Mukti lupa. Jika ia mau melihat lagi ke dalam hati Ratinem dan sedikit menggunakan akal sehatnya, sebenarnya apa guna untaian melati ini semua? Mukti lupa, jika ada hal nyata di depan matanya yang seharusnya ia perbuat daripada terus-terusan berurusan dengan melati-melati itu.Â
Hingga suatu ketika, Mukti mati. Dia mati dengan tangan masih meronce melati. Untaian melati untuk gadis pujaan yang belum pernah mendapat balasan. Mukti yang malang.Â
Ratinem mendengar kabar duka ini lalu menghadiri pemakaman Mukti. Sebagai penghormatan terakhir, dia berikan seikat kembang kertas warna merah muda kepada Ayah Mukti sambil bertanya, "Maukah Tuan menikah denganku?" [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H