Tiba-tiba waktu berhenti pada detik di mana aku melihat dua senyuman penuh kebahagiaan, kau dan dia.Â
Aku tak ingin maju selangkah pun untuk melihat semua itu lebih nyata. Â Melihat tawamu bersamanya mampu mengoyak seluruh kehidupanku.Â
Aku pun tak ingin mundur untuk mengingat semua waktu yang telah terlewati bersama, yang kini aku tahu bahwa bukan aku yang menjadi masa depanmu.Â
Detik ini aku sakit dan pada detik selanjutnya rasa sakit itu akan makin terasa menyayat-nyayat hatiku.Â
Ingin aku menangis, meronta, menjerit sekencang-kencangnya. Namun, rasa sakitnya menahan seluruh air mata dan suaraku.Â
Aku hanya bisa tertawa, menertawakan diriku sendiri. Mengolok-olok diriku, betapa bodohnya terbuai janji manismu.Â
Aku tersenyum untuk mengatakan kepadamu bahwa aku baik baik saja.
Aku tersenyum untuk mengatakan kepadamu bahwa aku masih memiliki kehidupan yang membuatku lebih bahagia nantinya, tentu saja tanpamu.Â
Aku tersenyum kepadamu untuk mengatakan bahwa aku akan melewati hari-hari baru yang lebih indah.Â
Sayangnya itu hanya sebuah kepura-puraan. Pada kenyataannya, aku tertunduk jatuh, lunglai, dan menutup wajahku dengan kedua belah tangan yang lemah.Â
Kamu telah berhasil membuatku sakit dengan kehilanganmu. Kamu telah berhasil membuatku patah berkeping-keping.Â
Mata, hati, dan pikiranku seperti tak tersinar oleh berkas cahaya. Aku kacau sekali.Â
Di mata semua orang aku ingin terlihat baik-baik saja.Â
Di mata semua orang aku mengatakan bahwa "kita memang tak berjodoh"Â
Di mata semua orang aku menyembunyikan isak tangisku.
Oke, semua telah berakhir.
Selamat menikah, semoga bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H