Mohon tunggu...
Nugroho Saputro
Nugroho Saputro Mohon Tunggu... -

Kuli partikelir. Tukang foto dan Belajar menulis untuk mengasah pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal 6 Guru Besar Hukum Terbaik di Indonesia

18 Maret 2016   16:16 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 21188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tutur pria kelahiran 10 April 1973 ini. Prof Eddy bercerita, gelar profesor dapat ia raih di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain. “Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.

Setelah mendapat persetujuan menulis, Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007, menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008. Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo – sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu – dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.  “Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009,” kenang Eddy.

“2 tahun 20 hari. Dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” imbuhnya.

Pernah Gagal Masuk Fakultas Hukum

Keinginan dan ketertarikannya akan dunia hukum disampaikan Eddy sudah dimilikinya sejak lama, walaupun ia mengaku tak ingat sejak kapan. Almarhum ayahnya pun pernah menyampaikan kepada Eddy, “kalau saya lihat karakteristikmu, cara kamu berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa,” ucap Eddy menirukan sang ayah. Meski jadi jaksa bukanlah amanah, tetapi di akhir hayatnya ayah Eddy kembali mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara bila benar ingin masuk fakultas hukum. Pesan itu disampaikannya ayahnya saat itu Eddy masih duduk di bangku SMA.

“Mungkin dia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti orang yang salah dan saya bela   bisa bebas. Itu juga mengapa dia bilang saya untuk jadi jaksa. Ya saya kaget juga waktu itu,” ungkap pria berdarah Ambon ini. Namun, jalan Eddy untuk bisa masuk FH UGM nyatanya tak semulus itu. Di tahun 1992, begitu lulus SMA, Eddy tidak langsung lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). “Saya setahun itu gagal loh masuk Gadjah Mada itu. Jadi tahun 1992 saya tes UMPTN tidak masuk,” ujarnya.

“Saya stres tuh enam bulan. (Karena) saya stres, saya liburan ke mana-mana aja udah. Terus enam bulan kemudian, mulai Desember, saya betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Baru lah kemudian saya lolos, masuk FH UGM,” pungkas pemilik hobi olahraga tenis, renang, dan juga membaca ini. Di semester lima, Prof. Maria Soemardjono – Dekan FH UGM kala itu – lah yang pertama kali mencetuskan agar Eddy menjadi dosen. Hubungan Eddy dan Prof. Maria diakui Eddy memang sangat dekat sampai-sampai orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria.

Pasca wisuda program sarjana yang digelar 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. “6 Desember 1998 pengumuman dan saya diterima. Mulai 6 Desember itu saya sudah asisten sampai SK saya turun 1 Maret 1999,” papar Eddy. Eddy yang akhirnya lebih memilih menjadi dosen ketimbang jaksa mengatakan senang menjadi dosen karena ia dapat banyak berinteraksi dengan orang, senang karena mau tidak mau ia harus terus belajar dan belajar, dan ia juga senang bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa.

“Yang keempat, katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy seraya tersenyum.

6. Prof. Harjono SH, MLC (Guru Besar Hukum Universitas Airlangga)

[caption caption="Prof Harjono SH MLC"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com 

Setia pada almamater, sepertinya hal inilah yang tercermin pada riwayat hidup pria kelahiran. Nganjuk, Jawa Timur 31 Maret 1948 ini. Setelah lulus sebagai sarjana muda dari FH Unair, Surabaya, ia kemudian melanjutkan pendidikannya mengambil sarjana hukum pada universitas yang sama (1977). Setelah menyelesaikan program Master of Comparative Law di Southern Methodist University Dallas, Amerika Serikat (1981), ia kembali ke pekerjaan sebagai dosen di Unair untuk mengambil doktor dalam ilmu hukum, selain tetap sebagai staf pengajar di universitas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun