Menyatukan Indonesia Secara Ekonomi
[caption caption="RJ Lino"][/caption]
Tulisan ini adalah hasil wawancara tim ALSI ITB dengan RJ Lino pada suatu kesempatan.
RJ Lino adalah sosok visioner yang fokus dalam setiap tindakan. Ia mampu menangkap gambar besar dari setiap persoalan, sekaligus menemukan solusi jitu,cepat dan sederhana dengan mengedepankan common sense, akal sehat. “Sedikit kritik saya untuk teman-teman insinyur yang karena pintar terbelenggu dalam kepintarannya. Orang pintar khususnya, teknik cenderung berpikir linier, sulit mengajaknya berpikir dalam perspektif yang lebih luas. Pikiran bahwa karena saya pintar, maka cara saya yang paling benar harus ditinggalkan. Di lapangan masalah begitu kompleksnya yang menuntut kita berfikir dan bertindak multi dimensional. Saat menghadapi masalah besar, kita perlu sejenak menarik diri dari helicopter view sehingga bisa melihat gambar besar untuk kemudian menyelesaikannya, seringkali bahkan hanya perlu cara-cara sederhana, tidak perlu dengan kerumitan hitungan integral” ungkap Lino dengan senyum khasnya. Sebuah awal yang menarik.
Masa Kecil dan Mimpi RJ Lino
Lahir di Ambon dari seorang ayah asal Rote dan Ibu asal Ambon, Lino menghabiskan masa kecil di Amahai, Maluku Tengah. Kunjungan Bung Karno saat Lino berusia 8 tahun telah mengubah hidup dan impiannya, Presiden Republik Indonesia Pertama itu berkunjung ke Amahai dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan ibu kota baru Kabupaten Maluku Tengah. Masih lekat dalam ingatan Lino, saat itu Bung Karno menanyakan apa arti “Gotong Royong” dalam bahasa lokal pulau Seram. Kemudian di jawab oleh masyarakat bahwa gotong royong dalam bahasa setempat adalah Masohi. Seketika itu juga Bung Karno menamakan kota baru itu dengan nama Masohi. “Bertemu Soekarno, Presiden yang mampu menyatukan Indonesia yang begitu luas, a big nation, tentu sangat istimewa. Seorang pejuang yang menghabiskan 20 tahun hidupnya di penjara dan pengasingan untuk sesuatu yang diyakini, pastilah bukan orang biasa. You can imagine betapa hebatnya saat dia bicara dan memberikan semangat kepada orang-orang, even a litte boy you can impressed. Setelah pertemuan itu, saya baca sejarah dan mencari tahu di mana Soekarno belajar. Maka setelah tahu dia belajar di ITB, saya bertekad akan kuliah di tempat yang sama dengan tempat beliau belajar. Setelah hari itu seluruh orientasi dan arah hidup saya, saya tujukan hanya agar bisa masuk ITB, ITB-nya dimana? iya di teknik sipil, tempat Bung Karno, orang yang saya kagumi. Kharisma Bung Karno telah menyihir saya untuk meneladani sikapnya tekun memperjuangkan impian. Sejak masuk ITB, tujuan saya jelas, menjadi insinyur, insinyur pelabuhan. Kenapa pelabuhan? Alasannya karena hidup saya tidak bisa dipisahkan dari laut. Laut, ocean is a part of my life,” nada suara Lino terdengar begitu tegas, dalam dan penuh keyakinan.
Duduk berhadapan dengan Lino, kita dengan cepat terbawa semangat dan optimisnya. Dia mampu menjelaskan berbagai hal dengan jelas, detail dan sangat cepat. Ide-ide dan berbagai strategi briliant mengalir di sepanjang obrolan yang membuat waktu begitu cepat berlalu. Lino, yang dikenal banyak koleganya sebagai sosok pimpinan yang tegas, pemberani dan pantang menyerah, terlihat begitu bersemangat dan penuh passion menjelaskan berbagai hal. “Saya tidak pernah takut melakukan sesuatu yang saya yakini benar serta bermanfaat bagi banyak orang banyak. Saya menanamkan keyakinan dalam diri bahwa tidak ada yang susah, semua pasti bisa sepanjang kita mau berusaha. Saya terbiasa dengan sikap itu, bahkan saat masih kuliah ditempat kos saya dulu di Bandung, saya pasang tulisan besar-besar “PASTI”. Kata yang memberikan sugesti pada diri saya bahwa jika mau serius berusaha, semua pasti bisa kita atasi”.
Perjalanan hidup Lino diwarnai perjuangan dan tekad yang pantang surut. Ia selalu serius menjalani berbagai hal, dan tetap mampu menjaga fokus hingga impiannya terwujud, tak terkecuali dengan pilihan hidupnya. Sesuatu yang jarang orang punya. Setelah menyandang gelar insinyur, tanpa setitikpun keraguan dia memilih bekerja di Direktorat Jenderal Hubungan Laut, meskipun saat itu banyak peluang lain yang secara finansial lebih menjanjikan menantinya. Saat itu dia mengajak banyak teman-temannya dari ITB untuk masuk ke Dirjen Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan. Lino berkata kepada teman-temannya kalau kita mau memperbaiki pemerintah Negara ini, kita juga harus masuk di dalamnya. Dengan begitu kita bisa langsung memperbaikinya dari dalam, bukan hanya teriak-teriak dan demonstrasi di jalanan.
Panggilan Hati Kembali ke Pelindo II
Karir RJ Lino dari memulai sebagai staf di Direktorat Perhubungan Laut Kemenhub hingga ke Pelindo II melesat, namun akhirnya sebuah insiden membuatnya harus keluar dari Pelindo pada tahun 1990. RJ Lino memaparkannya dalam sebuah cerita yang menarik.
“Setelah 14 tahun bekerja, saya keluar dengan pangkat yang cukup tinggi untuk pegawai muda pada saat itu kemudian menjalankan usaha yang tidak tergantung serta berkaitan dengan pemerintah, kemudian memilih bisnis furnitur, sesuatu yang sangat berbeda dengan dunia saya sebelumnya. Namun berbekal ketekunan, sikap yang fokus dan usaha yang sungguh-sungguh usaha saya maju dan sukses. Kondisi perekonomian saya juga jauh lebih baik dibandingkan saat bekerja di Pelindo. Tapi mungkin karena panggilan hati dan hidup saya memang laut dan pelabuhan, pada tahun 2009 saat saya masih bekerja di Guigang, Guangxie, Cina, saya ditawari pulang kembali ke-Indonesia, tepatnya kembali ke Pelindo. Saya ditelpon dan mendapat tawaran langsung dari bapak Sofyan Djalil (Menteri BUMN saat itu. red). Saat wawancara beliau menanyakan beberapa hal mendasar mengenai kondisi pelabuhan kita. Saya menjawab gamblang, sekaligus mengajukan beberapa syarat yang tidak mudah dan memerlukan ketegasan sikap untuk memenuhinya. Makanya saya terkesan saat semua syarat yang saya ajukan disetujui beliau, bapak Sofyan Djalil dalam pandangan saya memang istimewa karena semua kritik pedas saya terhadap pengelolaan pelabuhan termasuk andil pemerintah menjadikan pelabuhan kita tidak berkembang diterimanya dengan lapang dada. Melihat kepercayaan yang begitu besar yang diberikan kepada saya, saya termotivasi untuk bekerja keras dan sangat serius mendedikasikan pengalaman dan keahlian saya untuk membenahi Pelindo yang saat itu sudah jauh tertinggal dibanding pelabuhan-pelabuhan di negara-negara tetangga. Tentu saja, saya sangat prihatin melihat kondisi pelabuhan kita saat itu. Dulu, Pelabuhan Tanjung Priok pernah menjadi salah satu pelabuhan terbaik di Asia, hanya kalah dari Singapura, Hongkong dan Jepang. Priok pada saat itu masih lebih baik dari pelabuhan di Cina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Sri Lanka, dan Timur Tengah. Tapi kalau ditanya posisi kita ditahun 2009, saya tidak tahu dimana, tapi yang pasti sangat jauh tertinggal. Hal itu terjadi salah satunya karena pemerintah melakukan kesalahan paling fatal dalam pengelolaan pelabuhan karena menilai keberhasilan direksi hanya dari kemampuannya memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, orientasinya hanya profit. Dalam kondisi demikian, otomatis mereka takut melakukan investasi. Jangankan berfikir untuk meningkatkan kualitas SDM atau pelayanan, agar profit terlihat besar jika perlu semua yang dianggap mengurangi keuntungan di cut semua, tak terkecuali maintenance dan SDM. Target utamanya yang penting pemerintah senang, direksipun happy karena bonusnya besar. Hal ini terjadi bertahun-tahun, Pelindo semakin merana. Nah jika cara seperti itu diteruskan saya 100% yakin Pelindo selamanya nggak akan bisa maju. Kalau mau berubah tak ada cara lain, arena permainannya harus diubah. Syarat pertama yang saya minta adalah agar merubah kriteria keberhasilan direksi, yaitu bobot keuangan hanya 20% dan sisa 80% adalah pelayanan. Sedangkan syarat kedua saya adalah membatalkan rencana pembangunan pelabuhan Bojonegoro di Serang, Banten yang saya nilai sangat keliru sekali. Jika kita paksakan melanjutkan pembangunannya saat itu, we do a very big mistake for the country. Meneruskan pembangunan pelabuhan yang sudah jelas secara hitung-hitungan mudah melawan common sense jelas tidak ada gunanya. Saya langsung bisa melihat ketidakefisienannya melalui pemikiran-pemikiran sederhana nggak perlu sampai menggunakan hitungan tiga kali diferensial”
ha..ha… Lino tergelak mengenang saat dirinya bergabung kembali ke Pelindo pada bulan Mei tahun 2009.
Membangun Mimpi Bersama Pelindo II
Lino memimpin PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sejak Mei 2009. Pada bulan Pebruari 2012, Pelindo memutuskan bertransformasi menjadi Indonesia Port Corporation (IPC), sebuah penegasan komitmen untuk menjadikan IPC sebagai salah satu pilar pertumbuhan penting bangsa. Memimpin Perusahaan yang mengusung semboyan dan tekad baru Energizing Trade, Energizing Indonesia. Lino dipandang banyak kalangan sukses melakukan restrukturisasi korporasi dengan manajemen baru yang menghasilkan budaya dan cara-cara kerja baru. Lino menuturkan bahwa berbagai perubahan dan kemajuan yang sekarang terjadi di Pelindo diperjuangkannya dengan tidak mudah. Memperbaiki organisasi dengan orang-orang yang disebutnya “hampir kehilangan harapan”, diakuinya sungguh tidak mudah. Awalnya dia harus bertempur habis-habisan diantaranya dengan menerapkan berbagai quick win untuk membangun kepercayaan dan membangkitkan kembali semangat jajarannya.
“Diawal saya masuk, saya berhadapan dengan karyawan tidak punya inisiatif dan tidak punya kepercayaan terhadap pimpinan, low trust society. Saya anggap ini kondisi tersulit, karena jelas tidak mungkin menggerakkan orang yang nggak percaya kepada saya selaku pimpinan. Saya berfikir keras mencari cara dan saya putuskan akan mulai dengan quick win-quick win. Bekerja cepat yang hasilnya langsung bisa mereka lihat dan rasakan. Hal ini saya lakukan konsisten dan terus menerus tanpa henti. Ujung-ujungnya top resultnya saya arahkan pada perubahan culture dan values. Pelan-pelan hasilnya nampak, revenue tumbuh, kesejahteraan meningkat, dan orang-orang jauh lebih bergairah. Setelah itu berhasil saya push untuk memperbaiki semua engine. “Mesin Perusahaan” harus segera diperbaiki agar kita bisa bergerak lebih cepat. Saya mulai lakukan internal audit, compliance risk based management dan terus menyentuh elemen-elemen strategis lainnya. Diluar pembenahan sistem, saya juga melakukan hal penting yang sangat strategis nilainya bagi Pelindo di masa depan. Proses ini saya awasi betul yaitu transformasi besar-besaran di bidang human resources. Untuk hal ini, rasanya saat ini kita yang terdepan, nggak ada yang mengalahkan. Kita telah mengirim 170 anak muda untuk ambil gelar master di berbagai universitas ternama di luar negeri. Kita juga sudah mengirim 70 Mid Level Manager untuk mengambil program eksekutif MBA di Khune Logistic University, Hamburg, Jerman. Bayarnya cash, at cost, karena saya tidak mau membebani direksi Pelindo yang akan datang dengan program yang saya gagas. Saya happy melihat hasilnya, program ini pengaruhnya sangat besar bagi Perusahaan saat ini dan di masa yang akan datang. Hasilnya nyata. Perusahaan tambah hebat, tambah kaya, aset perusahaan yang di tahun 2009 sebesar Rp.6,5 Triliyun, di akhir 2015 telah meningkat lebih dari tujuh kali menjadi Rp.45 Triliyun. EBITDA yang di tahun 2009 sekitar Rp.1 Triliyun telah meningkat menjadi Rp.4 Triliyun di tahun 2015. Melalui cara ini, kami dengan sengaja telah menaikan level kompetisi karyawan sejak rekrutmen pertama, yang pasti akan berpengaruh juga pada level kompetitif Perusahaan. Sekarang kalau masuk Pelindo IPK harus diatas 3, imbalannya gaji yang tinggi, bonus yang menarik serta kenaikan pangkat sesuai kompetensi. Tidak ada lagi urusan senioritas, seluruhnya kompetensi yang bicara. Kalau ditanyakan tentang kepuasaan, saya sangat menikmati proses ini, proses mempersiapkan human resources ini. Kalau project, they can do the bigger project than what i did, tapi urusan SDM adalah urusan masa depan. Urusan yang membuktikan keseriusan kita mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi Perusahaan dan bangsa. Saya pasti tidak akan menikmati hasilnya, tapi kebahagiaannya luar biasa. Saya puas, lega dan bangga membayangkan seperti apa Perusahaan ini nantinya ditangan orangorang hebat yang telah kita persiapkan,” terpancar kebanggaan yang luar biasa di wajah RJ Lino saat memaparkan ini semua.
Projek New Priok
Lino tak hanya meninggalkan jejak sukses dalam restrukturisasi Pelindo, keberaniannya menggagas dan mengeksekusi proyek-proyek raksasa membuat banyak orang tercengang. New Priok membuktikan itu. New Priok akan menjadi salah satu proyek pelabuhan terbesar yang pernah ada di Indonesia, jauh lebih besar kapasitasnya dibandingkan Pelabuhan Tanjung Priok yang usianya sudah lebih dari 130 tahun. Direncanakan beroperasi diatas lahan seluas 450 hektare, pembangunan terminal Kalibaru New Priok yang diperkirakan menelan dana US$ 2,5 miliar untuk tahap I dari total US$ 5 miliar untuk seluruh terminal baik fase I maupun 2 membuktikan bahwa Lino memang visioner. Dibangun dengan tujuan memberikan manfaat besar bagi Indonesia, New Priok nantinya akan mengakomodasi kapal-kapal EEE class, yaitu kapal berkapasitas besar hingga 20.000 TEUs yang memungkinkan penurunan biaya kontainer per-unit yang signifikan sehingga berdampak pada murahnya biaya logistik.
“Saya bergerak cepat dan begitu ngotot memperjuangkan proyek ini karena New Priok tidak sekedar proyek besar. Ini adalah pesan, trigger kepada semua orang bahwa kalau mau kita bisa. Begitu proyek ini jalan, orang-orang dari seluruh dunia ramai-ramai bertanya kepada saya diantara pertanyaannya adalah bagaimana bisa kamu bangun pelabuhan yang begitu besar tanpa memikirkan akses ke Hinterland? Saya jawab tegas kepada mereka bahwa saya nggak bisa membangun Pelabuhan ini dengan menggunakan frame kalian, yang kalau mau membangun apa-apa harus terintegrasi, seperti yang lazim dilakukan di Jepang, Amerika atau Eropa. You never done it in Indonesia, i do my part then pressure others where is your part? Ayo donk lakukan sesuatu, saya selesaikan tugas saya, yang lain harus segera bergerak dalam tugasnya masing-masing agar ini bisa jadi. Kalau nggak ada yang mau dan berani bergerak duluan, selamanya kita hanya akan saling menunggu, sementara orang lain sudah berlari kencang”.
Pendulum Nusantara (Toll Laut)
“Lino ini sumpah pemuda kedua, upaya menyatukan Indonesia secara ekonomi” – Dahlan Iskan
[caption caption="Pendulum Nusantara"]
[/caption]
Lino punya kepedulian dan kecintaan yang dalam pada Indonesia. Karena kepedulian itu pula dia selalu terusik untuk ikut menyumbangkan sumbangsihnya kepada Indonesia. “Pendulum Nusantara” yang kemudian dikenal dengan nama Toll Laut dan menjadi program andalah presiden Joko Widodo adalah buktinya. Pendulum Nusantara dilandasi keprihatinannya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya terkonsentrasi di Jawa lebih khusus lagi di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), sementara di Indonesia timur pergerakannya demikian lambat, kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
“Kenyataan saat ini 160 juta rakyat Indonesia secara ekonomi lebih dekat ke Cina dibandingkan ke Pontianak, Palembang, Medan dan lainnya karena ongkos logistik ke Cina jauh lebih murah. Jauh lebih mahal kirim container ke Pontianak daripada ke Hamburg. Ini kan tidak bener dan sangat berbahaya bagi perkembangan ekonomi kita kedepan. Belum lagi dengan segera akan diberlakukan Asean Community Trade. Terbayang nggak shocknya orang-orang nanti saat ini diterapkan? Banyak yang akan terkaget-kaget menghadapi kenyataan bahwa nantinya Thailand, Kamboja, Malaysia dan lainnya bisa kirim barang langsung ke berbagai pelabuhan di Indonesia dimana saja. Memanfaatkan jasa Shipping Line Internasional dengan harga sangat kompetitif mereka akan leluasa berkompetisi dengan kita yang memang tidak kompetitif. Kalau ini dibiarkan, Jawa nggak akan bisa kirim barang ke Pontianak, Medan, Makassar atau daerah lainnya karena kalah murah dari Thailand dan lainnya. Lama kelamaan apa yang terjadi? Jawa akan kehilangan market diluar Jawa, pelabuhan-pelabuhan di Jawa pasti berkurang lalu lintas domestik, dan kekurangannya diisi dari luar negeri yang pengirimannya dilakukan langsung menuju masing-masing daerah. Dampaknya apa? Pelabuhan kita yang nggak kompetitif nggak laku, nggak keurus dan secara pelan namun pasti akan mati. Jika dibiarkan lama-lama orang akan kehilangan kebanggaanya sebagai orang Indonesia, terutama orang-orang di bagian timur Indonesia yang tidak merasa mendapatkan benefit. Nah, hal ini harus kita cegah, kita harus menemukan cara untuk menyatukan nusantara, Indonesia dengan perspektif baru, perspektif ekonomi. Waktu gagasan itu saya lontarkan, baru saya paparkan sebentar saja, Menteri BUMN, Bapak Dahlan Iskan langsung berkata, “Lino ini sumpah pemuda kedua, upaya menyatukan Indonesia secara ekonomi”. Saya sempat tertegun dan kemudian berpikir benar juga. Saat ini kalau mau menyatukan Indonesia memang tidak cukup lagi hanya bermodal semangat saja, perlu terobosan, cara yang membuktikan bahwa kita peduli dan mau berbuat. Saya berasal dari Indonesia Timur, saya melihat, mengalami dan merasakan apa yang dirasakan saudara-saudara saya di daerah Indonesia Timur. Saya sedih dan tak pernah berhenti berfikir bagaimana membuat Indonesia Timur bisa tumbuh, something to be done. Kita sudah diberikan lautan sebagai jalan murah yang dikasih Tuhan. Orang yang paham akan memandang lautan sebagai perekat, bukan pemisah apalagi penghalang. Jalan ini harus kita manfaatkan,” ungkapnya sembari menjelaskan secara detail tentang Pendulum Nusantara dan dampaknya bagi Indonesia.
Tentang Indonesia dan Teknik Sipil
Dalam kesempatan langka ini, kami juga menanyakan kepadanya pandangannya tentang Indonesia dan teknik sipil?
“Sebagian besar masalah yang terjadi di Indonesia saat ini adalah karena kita hanya berpikir tentang apa yang kita bisa nikmati hari ini saja, jarang sekali ada orang yang mau berfikir jauh kedepan, masa depan. Tanpa itu kita akan kehilangan banyak kesempatan emas, dan menghabiskan banyak energi hanya untuk keperluan saat ini saya. Saya ajak orang-orang untuk mau berfikir jauh kedepan. Contoh proses transformasi human resources yang saya lakukan di IPC. Hasilnya bukan saya yang akan menikmati, tapi generasi yang akan datang, direksi-direksi setelah saya. Lalu apa yang akan saya dapatkan? Kepuasan batin karena setidaknya saya telah berhasil menciptakan satu standar baru, benchmark baru. Virus untuk meng-energize lebih banyak orang untuk mau berfikir dan berbuat untuk sesuatu jauh kedepan menurut saya harus terus ditularkan untuk membantu mengatasi persoalan bangsa yang demikian besar”.
Lino juga menyimpan keprihatinan lain terkait profesi insinyur yang menurutnya saat ini kurang diapresiasi.
“Profesi ini tidak bisa dibayar murah. Hal ini harus dikampanyekan, diperjuangkan sehingga profesi ini menjadi menarik buat orang banyak. Sayang sekali saat universitas sudah berhasil menjaring orang-orang yang bagus, menempuh pendidikan yang susah untuk menjadi insinyur, keluarnya nggak tertarik lagi bekerja dibidangnya karena profesi lain lebih menjanjikan. Kondisi ini sangat menyedihkan. Prihatin sekali saat bangsa sedang membutuhkan banyak insinyur, insinyur kita malah lebih senang berkarir dibidang lain karena gaji dan apresiasi yang lebih menjanjikan. Penghargaan yang rendah telah membuat banyak insinyur yang tidak setia pada profesinya. Kalau dihadapkan pada pilihan menjadi insinyur gajinya bintang 1 (satu) dengan kerja di bank dengan gaji bintang 5 (lima), iya semua orang akan memilih kerja di Bank. Selama bekerja sebagai insinyur sipil dibayar murah, sulit buat membuat mereka setia pada profesinya. Beda dengan insinyur jaman dulu. Dengan gelar insinyur, dulu mereka merupakan idola masyarakat dengan status atau kelas sosial yang tinggi, top class yang penghasilan secara ekonomi juga pantas. Jadi kalau mau memulihkan citra dan kecintaan pada bidang ini, tidak ada pilihan lain kecuali mau membayar insinyur lebih mahal, lebih pantas. Orang-orang yang lolos seleksi dan bisa lulus dari ITB kan orang-orang pintar, sayang jika talenta-talenta hebat ini nggak dikasih kesempatan. Jadi dalam kaitan ini para insinyur juga harus diberikan arena bermain, challenge agar kemampuan mereka terus meningkat, kalau nggak iya nanti hanya jadi insinyur kelas kambing saja.”
Begitulah sepenggal pembicaraan bersama seorang RJ Lino. Orang yang saat ini banyak dihujat oleh masyarakat luas karena predikatnya sebagai tersangka sebuah kasus yang disangkakan kepadanya. Diluar hal tersebut, impiannya yang begitu besar untuk kemajuan ekonomi Indonesia melalui pengembangan pelabuhan sangat menggebu di dalam hati dan pikirannya. Semoga Indonesia bisa menghargai jasa baik dari seorang seperti RJ Lino.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H