MENGAPA ANAK-ANAK MENJADI PEMBUNUH ?
Sudah kelewat batas bertaburan berita tentang pembunuhan oleh anak-anak dengan korban teman sebayanya sendiri. Di satu sisi kejahatan tidak dapat ditolerir. Pelaku wajib dihukum dengan setimpal.
Namun di sisi lain, jika pelaku belum cukup umur, maka akan diberlakukan UU Perlindungan Anak di mana anak dianggap belum mampu bertanggung jawab secara psikologis, sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa.
Artinya hukuman diberlakukan dalam konteks rehabilitasi, dan atau malah pelaku dibebaskan dengan pembinaan?
Bagaimana pendapat awam melihat hal ini. Berikut saya rangkumkan beberapa pendapat yang beredar dengan observasi dan Tanya langsung kepada responden.
Pertama, pelaku belum dewasa maka perlu rehabilitasi. Apalagi jika pelaku belum dewasa, dan diperiksa ternyata ada gejala gangguan jiwa. Lepaslah dia dari hukuman. Orang berpendapat, ya bagaimana pun usia anak-anak, yakni di bawah 17 tahun, maka tidak boleh dihukum. Harusnya direhabilitasi.
Kedua, sebagian masyarakat melihat bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang belum dewasa, ternyata tidak kalah sadis dengan pelaku dewasa. Maka masyarakat menilai, meskipun anak-anak, wajib tetap dihukum dengan maksimal. Bilamana perlu, diberlakukan hukum qisas, pembunuh wajib dibunuh oleh pengadilan, atau vonis mati. Tujuannya untuk memutus mata rantai kriminalitas pembunuhan. Sebagaimana banyak kejadian, biasanya pembunuh akan terinspirasi untuk melakukan pembunuhan lagi. Maka eksekusi mati adalah mutlak, jika memang pelaku pembunuh orang yang baik hebat, biarlah dia cepat masuk surge lewat eksekusi mati. Jika pendosa, biar cepet berhenti dan tidak berkelanjutan. Masalahnya, hukum di negara kita masih berbelit dan belum bisa menampung situasi ini.
Ketika, mencari akar masalah, melakukan pencegahan, dan dilaksanakan tindakan hukum yang sistemetis terukur dan ada efek jera. Ada kemungkinan anak-anak menjadi brutal dan menjadi raja tega, karena efek pandemic covid 19 di mana anak-anak jarang melakukan interaksi fisik. Hanay bermain games atau gadget. Di dalam perangkat digital tersebut, bukan tidak mungkin banyak inspirasi brutalisme, pembunuhan, penganiayaan, baik berupa games atau video. Akhirnya anak-anak yang memang pola pikirnya pendek, mengira akan menjadi pahlawan atau sosok yang ditakuti dengan melakukan tindakan brutal sebagaimana kejadian clurit dibacokkan ke mobil, atau juga dibabat ke leher temannya. Mereka mengira, itu seperti fantasi games. Maka perlu diperbanyak pendidikan dan pelatihan kepribadian, team building, dan akhlak perilaku bagi remaja dan anak-anak seperti itu.
Masih banyak diskusi dan debat masyarakat tentang ini. Namun kita wajib prihatin dan para pihak berkepentingan, untuk segera mengambil tindakan yang tepat.
Ada solusi ekstreem dari responden yang bisa saja dilakukan oleh apparat pemerintah; pelaku kejahatan dikirim ke Kamp Nusakambangan atau tempat lain, dan dilatih jadi pasukan berani mati untuk dikirim lebih lanjut ke zona paling berbahaya di dunia atau Indonesia.
Supaya jalanan bersih dari bibit-bibit criminal yang semakin menggejala.
Kira-kira, Anda pembaca setuju yang mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H