PENTING, MENGENALKAN GENDER
Identitas gender, atau diskriminasi gender? Perlu, laki-laki tetap menjadi laki-laki, perempuan menjadi perempuan.
Apakah perlu memperkenalkan secara dini peran jenis kelamin (gender) pada anak?
Ada sementara feminis yang mengatakan, perbedaan sikap dan perlakuan terhadap bayi laki-laki dan perempuan, adalah sumber mula diskriminasi gender. Perbedaan ini, akan berkelanjutan dengan tumbuhnya ketidakadilan secara sosial kelak dalam spektrum luas kemasyarakatan.
Misalnya, bayi perempuan yang diberi anting-anting, sedangkan anak laki-laki tidak. Anak laki laki yang rambutnya dipotong pendek, sementara anak perempuan cenderung dipanjangkan. Standar kehidupan maskulinitas dan femininitas, memang dibedakan secara biologis maupun psikososial.
Menurut Derek Llewellyn Jones penulis buku Every Woman (1997), peran gender justru harus didorong secara terus-menerus oleh para orangtua. Bila anak tidak mengembangkan identitas gender, ia akan bingung tentang seksualitas dan peran gendernya. Anak harus didorong untuk bangga dan sadar terhadap jenis kelaminnya, sehingga ia tidak terkondisi untuk menginginkan perubahan jenis kelamin (transeksual).
Dalam bahasa sederhana: anak laki-laki dididik menjadi laki-laki, anak perempuan menjadi perempuan. Di saat ini, peran ini menjadi kompleks karena ada gender yang "undefine", yang mengisyaratkan dunia semakin bingung atas identitas gender.
Harusnya bagaimana?
Anak perempuan dan anak laki-laki perlu diberikan Standar sikap dan perilaku bagaimana seharusnya sesuai dengan jenis kelaminnya. Proses ini, menurut Jones, berlangsung beberapa lama. Sampai usia 2 atau 2,5tahun, anak tidak memahami jenis kelaminnya. Pada usia 3 sampai 3,5 tahun, anak perempuan akan mampu menjawab, bahwa dirinya adalah anak perempuan. Ia dapat mengetahui perbedaan anak laki-laki dan perempuan.
Dan pada usia 4-5 tahun, anak perempuan dapat mengidentifikasi anak laki-laki sebagai anak laki laki dan anak perempuan sebagai anak perempuan, serta mengetahui jenis kelaminnya tidak dapat diubah. Ia sadar, bahwa ia adalah wanita, dan akan selalu menjadi wanita.
Menurut Jones, kondisi akan berbeda bila orangtua tidak mengembangkan peran gender pada anak-anak. Anak akan tidak bisa menerima peran gendernya, dan berperilaku sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, anak laki-laki yang berteman dengan anak-anak perempuan.
Bila anak tidak ditanamkan bahwa ia adalah lakilaki, maka ia akan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Bukan tidak mungkin, ia akan tumbuh sebagai keperempuan-perempuanan, atau orientasi seksual sebagaimana perempuan. Ancaman konkret, ia bisa berorientasi seks homoseksual, tertarik pada sesama jenis laki-laki, atau bahkan ingin operasi kelamin menjadi perempuan.
Peran Sosial
Sumber diskriminasi gender bukanlah pada penegasan peran gender, melainkan tuntutan peran sosial yang berbeda. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara gender tetaplah ada, namun tuntutan peran sosial yang berbeda memang digunakan oleh sementara kalangan sebagai alasan untuk merendahkan perempuan.
Perendahan wanita ini sebenarnya bersumber 0pada standar kehidupan primitif, dimana perempuan identik dengan peran domestik (pengasuhan anak, mengumpulkan biji-bijian, memasak, hamil, dan sebagainya), sementara laki-laki identik dengan peran publik (berburu, mempertahankan serangan binatang buas, membuat pertahanan rumah dari serangan udara dingin dan bencana alam). Akibatnya, wanita dianggap sebagai makhluk inferior, laki-laki superior Wanita lemah, laki-laki kuat.
Peran sosial primitif juga mendudukkan kaum wanita pada posisi yang dirugikan. Wanita dirugikan dalam peluang kerja. Ia menempati posisi-posisi bukan kunci, sekadar pelengkap penderita, upah lebih rendah, dan dengan pesaing pria yang tidak lebih unggul darinya, wanita sering dikalahkan.
Lebih lanjut Jones menjelaskan, wanita bekerja 36 jam tanpa dibayar dalam seminggu, sedangkan laki-laki kurang dari 18 jam. Perempuan menggunakan 70 persen waktunya untuk pekerjaan yang tidak dibayar, sementara laki-laki hanya 30 persen. Laki laki yang penuntut dianggap wajar, sementara perempuan penuntut dinilai bawel, matre, dan rewel.
Penuh Pilihan
Dalam pandangan Abraham Maslow, psikolog aliran humanistik, bahwa sebenarnya semua orang berpeluang untuk mencapai aktualisasi diri. Tidak pandang jenis kelamin, setiap manusia boleh mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan minat dan potensinya.
Sepanjang tidak mengganggu peran jenis dan peran sosial, wanita berkiprah di publik adalah wajar dan biasa biasa saja Sama halnya, era sekarang ini laki-laki yang membantu mencuci piring, momong anak, menyedot lendir ingus anaknya langsung dari hidung dengan mulutnya, menceboki anaknya yang barusan membuang hajat, mengepel lantai, mencuci mobil, adalah tidak istimewa dan biasa-biasa saja.
Yang sebenarnya disayangkan, adalah sikap arogan dari sementara jenis kelamin, baik laki-laki ataupun perempuan, dengan mendengung-dengungkan perbedaan dalam konteks ketidak adilan. Peran gender, dirancukan dengan peran sosial. Identitas gender, disamaratakan dengan diskriminasi gender.
Masalah sederhana saja, laki-laki yang diberi pistol-pistolan, konon tidak adil karena wanita tidak diberi pistol-pistolan dan hanya boneka saja. Kalau tidak mengganggu (bahaya pistol-pistolan masuk ke dalam alat kelamin), memberi anak perempuan Pistol- Pistolan tidak menjadi masalah.
Dunia era sekarang adalah penuh dengan pilihan. Bila ada wanita memilih sebagai ibu rumah tangga saja, tanpa berkiprah di publik, tidak perlu dilecehkan dengan label ketinggalan jaman. Sebagaimana wanita yang memilih berkiprah di sektor publik. Semuanya wajar, asal menyadari identitas gendernya.
Identitas gender bukanlah diskriminasi, melainkan kesadaran terhadap adanya perbedaan alamiah antara laki-laki dan perempuan. Lunturnya kebanggaan terhadap identitas gender, menurut Jones, adalah semakin berkembangnya kehidupan lesbianisme dan homoseksual. Identitas gender ini perlu disosialisasikan pada anak semenjak dini.
Sampai saat ini,semua agama menentang homoseksual atau pun lesbianisme,sehingga pengenalan peran jenis seksual atau pendidikan gender adalah penting dan utama.
Karena hal tersebut juga bagian ibadah kita, apa pun agama kita. (Re-write, 14.12.2022/Endepe)
Referensi: Priyohadi, N.D., 2011, Mengasihi Anak Sepenuh Hati,Yogyakarta: Pustaka Rahmad dan Panduan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H