Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Pendidikan Seks Anak, Benarkah Identik Seks Dini?

12 Desember 2022   11:06 Diperbarui: 12 Desember 2022   11:40 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDIDIKAN SEKS ANAK, BAGAIMANA SEHARUSNYA?

Seks sering diidentikkan dengan hubungan suami istri. Padahal. ada yang lebih penting dalam pendidikan seks ini.

"ANAK laki-laki saya suka mengintip bila saya sedang berganti pakaian, keluh seorang ibu menceritakan anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun.

      "Agar dia tidak keterusan, akhirnya saya berganti pakaian di depan dia. Bila tidak, saya sengaja membuka pintu kamar saya, agar dia tidak mengintip dengan diamdiam. Biarlah dia masuk dengan leluasa," ungkapnya menceritakan solusi terhadap masalahnya sendiri.

Tidak heran, ibu tersebut biasa berganti penutup dada (BH) di depan anaknya. Ketika ditanya, mengapa ia lakukan itu, ternyata ibu ini mendasarkan diri pada pendidikan seks anak yang "hendaknya dilakukan secara terbuka". Sayangnya, ibu ini tidak menyadari, bahwa keterbukaan yang dimaksud bukanlah demikian.

      Problematika pendidikan seks, bagaimana seharusnya, bagaimana baiknya, dan bagaimana cara efektif menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual, merupakan problematika klasik yang saring tidak berujung. Artinya bagi masyarakat tertentu bukanlah menjadi masalah serius. Namun bagi masyarakat lain, menjadi masalah yang kompleks dan rumit.


 Konflik Batin 

 Akibat mitos seks yang salah, banyak kasus mengakibatkan konflik batin dan masalah psikologis. Setidaknya, begitulah yang pernah terjadi pada masa Sigmund Freud sang tokoh psikoanalisis dari Wina yang hidup pada awal abad 20. Masalah-masalah yang timbul dan bilik konsultasinya disebabkan masalah seksual. Pada Waktu itu, kehidupan seks dipandang sebagai kehidupan tabu, dan standar hidup mulia adalah asketis (menghindarkan sama sekali dari seks).

     Akibatnya, banyak perempuan waktu itu menganggap seks adalah menjijikkan, sehingga terjadi banyak Vaginismug (kejang otot vagina) ketika terjadi coitus (hubungan intim suami istri) dengan pasangan sahnya.

     Kontra paradigma berpikir yang dilakukan oleh Freud, adalah dengan tidak menabukan seks. Konsep Freud ini berdampak lain, kehidupan seks mengarah pada kebebasan seks. 

Anggapannya, karena orang terlalu mengekang seks, mengakibatkan orang menjadi bermasalah. Revolusi seks pun terjadi, dan kini memasuki pada era AIDS (PMKT Penyakit Menurunnya Kekebalan Tubuh) yang salah satu pemicunya adalah kehidupan seks bebas.

Kehidupan Suci 

Benjamin Spock, psikolog penyusun buku Raising Children in a Defficult Time, juga bercerita tentang sulitnya melakukan pendidikan seks yang tepat bagi anak.  Adegan Adegan film dan sinetron banyak mengekspos sekwilda Dan bupati (sekitar wilayah dada dan buka paha tinggi tinggi), menyebabkan anak memiliki persepsi yang kacau mengenai seks. 

Payudara yang secara fungsional berkaitan dengan tugas suci dan mulia untuk menyambung kehidupan bayi dengan air susu ibu, menurut Spock, berubah menjadi stimulasi fantasi seksual anak yang mengakibatkan mereka menjadi matang dini (immature).

     Beberapa orang salah menerjemahkan keterbukaan pendidikan seks, dengan keterbukaan yang benar benar terbuka, sebagaimana kasus nyata di awal tulisan ini. Kasus lain, yang juga sering terjadi, ada anak suka menelanjangi boneka yang dibelikan ibunya, meskipun ia selalu melihat badan boneka tanpa baju bentuknya sama.

      Benjamin Spock menyarankan agar orangtua mendudukkan masalah seks sebagai kehidupan suci. Dengan demikian, anak-anak hendaknya ditanamkan bahwa kehidupan suci bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan, melainkan ada saatnya nanti keterangan yang lengkap akan didapatkan anak bila telah tiba saatnya.

       Jawaban-jawaban orangtua mengenai masalah seks, hendaknya disampaikan dengan hati-hati, dan menekankan pada masalah kesucian seks itu sendiri.

     Anak berusia 6-12 tahun, menurut Spock, senang sekali berlagak bagaikan ilmuwan ketika menjelaskan sesuatu. Mereka akan berpura-pura tahu tentang sesuatu dan bergaya bagaikan seorang guru kelas. Sepanjang tidak aneh-aneh, biarlah saja anak bergaya bagaikan ilmuwan.

      Namun bila anak terlalu ngawur dalam menjelaskan sesuatu, apalagi masalah seks, hendaknya orangtua membantu anak mencarikan jawaban yang lebih tepat. Misalnya, ada seorang anak yang mempermasalahkan, mengapa ia punya zakar dan adik perempuannya tidak. Manakala ada anak yang menjawab "karena laki-laki adalah keturunan dewa, dan perempuan bukan keturunan dewa", hendaknya orangtua cepat turun tangan. Bahwa perbedaan itu akan selalu ada di dunia ini, termasuk laki laki dan perempuan, namun adanya perbedaan itu adalah media berlatih manusia untuk bersikap adil dan saling melindungi. Bukan saling menjatuhkan.

Masalah Moral 

Pendidikan seks bagi anak memang terkait erat dengan moral. Kohlberg, psikolog yang secara intensif melakukan penelitian masalah moral menyatakan, pola pikir anak disetir oleh perkembangan moral yang dimiliki.  

Pesan pesan moral dari orangtua, merupakan salah satu kunci agar anak bertingkah laku sesuai dengan standar perilaku yang diharapkan. Penanaman moral ini juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya bila anak menjumpai orang tuanya memiliki hubungan yang kurang harmonis.

       Anak yang sering menjumpai orangtuanya senantiasa bertengkar di malam hari, ia akan mengalami "ketakutan seksual" di hari dewasanya kelak. Misalnya, anak perempuan yang memergoki ayahnya sedang memukuli ibunya, maka ia akan beranggapan bahwa lawan jenisnya adalah tipe penjahat, keras, kasar, dan menakutkan. Anak bisa tumbuh "anti lawan jenis" yang memicu kehidupan lesbianisme. 

Pendidikan seks kepada anak, memang tidak hanya dilakukan secara langsung dengan tanya-jawab atau penanaman moral oleh orangtua, melainkan juga contoh-contoh konkret di sekitar kehidupan anak.

Pendidikan Kesehatan Reproduksi 

Sejatinya ada yang lebih tepat dalam pendidikan seks anak,yakni kesehatan reproduksi. Anak diajarkan mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mengapa perempuan memiliki menstruasi, sedangkan laki-laki ada mimpi basah.

Kapan itu dilakukan?

Memang kalau masih di usia 6-12 tahun, sebaiknya dikendalikan hanya masalah pembiasaan pembedaan antara, misalnya toilet laki-laki dan toilet perempuan,yang diterjemahkan bahwa kenyataannya antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda.

Sedangkan di usia remaja 13-17 tahun, lebih pada pengenalan anatomi tubuh dengan penjelasan yang didekati dengan wibawa akademis, bukan dengan candaan atau bahkan erotisme.

Diharapkan dengan demikian, anak akan paham bahwa seks, gender, dan kesehatan reproduksi memang sebuah ilmu pengetahuan yang wajib diketahui agar kehidupan biologis psikologis bahkan sosiologis akan sehat dan wajar. 

Dengan demikian, kasus-kasus pelecehan seksual, atau perundungan, atau salah kelola dalam relasi gender dapat dihindarkan  (re-write dengan adaptasi, 12.12.2022-Endepe)

Referensi: Priyohadi, N.D., 2011, Mengasihi Anak Sepenuh Hatri, Yogyakarta: Pustaka Rahmad dan Panduan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun