MENCEGAH TENGGELAMNYA KOTA BANJARMASIN
Oleh : Nugroho Dwi Priyohadi*
Belum lama berselang, pada pertengah Mei 2022 ini kita dikagetkan dengan jebolnya tanggul kawasan Berikat kawasan industry Pelabuhan di Semarang Jawa Tengah. Rendaman yang menyapu kawasan sekitar dikabarkan sampai mencapai ketinggian di atas 1 meter. Alhamdulillah, kerjasama bahu membahu antara pemda, Tim SAR, operasional pekerja pelabuhan, BUMN, dan pemangku kepentingan, sehingga solusi dapat dilakukan sangat cepat. Bahkan Dolly Sistem yang diterapkan lama oleh Pelabuhan Tanjung Emas, dikenal mengadopsi system pengendalian rob dan banjir dengan teknologi dari Port of Rotterdam, Belanda.
Tidaklah mengherankan bahwa rob yang terjadi 23 Mei, dalam hitungan jam, langsung bisa dikendalikan sehingga stagnasi layanan operasi bongkar muat petikemas di Terminal Petikemas Semarang hanya terhenti selama 21 jam. Selanjutnya berangsur pulih dan membaik.
Lantas bagaimana masa depan potensi dan risiko rob di tanah air kita, wabil khusus Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan?
Sebagaimana diwartakan banyak media dan jurnal penelitian, ada 15 wilayah perairan dan pesisir Indonesia yang berpotensi disapu banjir rob, tidak hanya Semarang namun juga Aceh, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jateng, Jatim, Bali, Maluku, dan khususnya Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Timur.
Artinya semua provinsi Kalimantan berisiko akan tenggelam. Belajar dari sejarah dan pengamatan, risiko tenggelamnya Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan jauh lebih urgen untuk dipikirkan dan dicarikan solusi sejak dini. Apalagi case to case, rendaman rob sering dijumpai di sudut-sudut kota atau jalan rayat di sekitar Banjarmasin dan kota lain di Kalimantan. Maka kita terutama juga perlu belajar dari banjir rob di Semarang yang rutin terjadi dan kadang ditemui hentakan musibah sebagaimana terjadi pada bulan Mei yang lalu itu.
KARAKTERISTIK BERBEDA
Sekarang mari kita coba bandingkan antara Semarang dan Banjarmasin. Meski sama-sama dalam ancaman rob dan banjir, namun sejatinya ada karakteristik problem yang berbeda di antara kedua kota ini.
Semarang dikenal dengan banyak kejadian instrusi air laut dan penurunan permukaan tanah. Penulis berada dalam jejaring relasi kepelabuhanan, baik di Kalimantan maupun di Jawad an kawasan Indonesia lainnya. Semarang, sempat mendapatkan fatwa dari Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu, bahwa lingkungan alam pesisirnya tidak kondusif untuk bisnis pelabuhan atau bongkar muat barang, ketika itu.