Othak athik gathuk alias menghubung-hubungkan kejadian satu dengan kejadian lain seakan menjadi gejala baru di era pandemi ini. Jika ini dibiarkan, sebenarnya ada risiko penyakit sosial masyarakat yakni timbulnya saling menghujat dan menghakimi secara sosial psikologis atas musibah yang seharusnya mendapatkan simpati dan empati.
Sebagaimana yang menimpa pak jaksa yang satu ini.
Kejaksaan Agung RI sebagaimana diwartakan banyak media sedang berduka. Salah satu jaksa terbaiknya meninggal dunia hari ini, Jumat 16 Juli 2021 karena sakit dan dirawat di RS Bethesda Yogyakarta.
Dia adalah Jaksa Nanang Gunaryanto yang menjabat sebagai Kasubdit Penuntutan TPUL Pidum Kejaksaan Agung.
Diketahui, Jaksa Nanang merupakan salah satu jaksa yang menuntut kasus swab tes Habib Rizieq di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada dengan tuntutan 6 tahun meskipun akhirnya diputus 4 tahun oleh majelis hakim
Vonis hukuman penjara selama empat tahun dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (24/6) atau sekira 1 bulan yang lalu.
Rizieq dinyatakan secara sah dan meyakinkan telah menyebar kabar bohong dan membuat keonaran di tengah masyarakat atas perkara kasus tes swab virus Corona (Covid-19) di Rumah Sakit Ummi, Bogor.
Sementara itu, seminggu sebelumnya salah satu hakim yang memvonis Habib Rizieq juga meninggal.
Suryaman, demikian nama hakim Habib Rizieq yang meninggal dunia tersebut. Suryaman meninggal dunia, Sabtu (10/7/2021), selisih 6 hari dengan jaksa yang menuntut HRS.
Suryaman adalah salah satu anggota majelis hakim yang menjatuhkan vonis terhadap mantan pimpinan Front Pembela Islam (FPI).
IRASIONALITAS MASSA
Mungkin para ahli psikologi sosial harus segera turun tangan menghadapi situasi ini. Nalar-nalar yang irasional perlu diluruskan tersebab realita saat ini negara dalam kondisi genting di bawah pandemi covid19 yang semakin tidak terkendali.
Othak-athik gathuk bukan tidak mungkin akan menimbulkan gangguan psikologis lain yang menebarkan saling benci dan saling kutuk antara pihak satu dengan yang lainnya.
Sementara di sisi lain, kalangan eksekutif juga semakin kalang kabut karena jagad media sosial twitter juga tidak terkontrol dengan menyebarnya banyak irasionalitas opini massa terhadap situasi pandemi ini.
Irasioalitas sebenarnya juga dipicu banyak pewartaan yang tidak jelas apakah berpihak kepada kebenaran nyata atau malah memperkeruh suasana?
Lebih waduhnya, Pak Refly Harun yang adalah tokoh ahli hukum, mengemas berita ini dengan gegap gempita di chanel youtube sehingga menimbulkan persepsi yang beragam.
Silakan dicermati sendiri.
Sementara itu, ada warta lain yang seakan kontradiktif.
Misalnya diwartakan di awal bahwa pandemi bisa dikendalikan.
Bahkan yang mewartakan sekelas Kompas.
Setelahnya diwartakan bahwa delta varian pandemi tidak bisa dikendalikan.
Walhasil publik terkesima dan tidak dapat memegang fakta data atau realita mana yang bisa dipercaya.
Bahaya ancaman fisik akibat irasionalitas massa juga menimpa operator ambulan di Yogyakarta yang sempat dilempari batu karena dianggap hanya hilir mudik wira wiri menakut-nakuti masyarakat.
Silakan lihat beritanya di sini.
Masyarakat juga sebagian paranoid dengan bunyi sirine ambulance sehingga menimbulkan agresivitas.
Silakan lihat beritanya di sini yang modus operandinya kurang lebih sama.
Maka kalau sampai ada Menteri PMK yang mengatakan kita dalam kondisi Darurat Militer, apakah mungkin iya ya ?
Waduhh............................... othak athik gathuk dan darurat militer... ahlinya ahli harus segera turun tangan untuk mengatasi irasionalits opini yang berkembang di publik. (16.07.2021-Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H