Rustriningsih menjadi agak kontroversial ketika ia mulai "berulah", dengan mengambil peran menjadi salah satu deklarator organisasi masyarakat (ormas) Nasional Demokrat bersama Surya Paloh, tahun 2012, tetapi ketika ormas tersebut bermetamorfosa menjadi sebuah partai, dia memilih tetap berada di partai yang membesarkannya, PDI Perjuangan.
Dalam hal ini, ideologi hatinya adalah PDI Perjaunagn.
Kembali ia menghadapi masalah nyata, ketika ia masuk dalam daftar bursa calon gubernur Jawa Tengah, tahun 2013, meski akhirnya PDI Perjuangan menetapkan Ganjar Pranowo sebagai calon.
Dalam hal ini, Ibu Rustriningsih "kalah telak" oleh keputusan PDI P yang akhirnya Pak Ganjar menang sebagai Gubernur Jateng. Hingga akhirnya, dengan nada kecewa ia "mbalelo" dan pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun 2014 Rustriningsih menyatakan mendukung pencalonan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa sebagai presiden, bukan Jokowi yang diusung PDIP .
Tapi, setelah itu, dia justru diberhentikan dari partainya, partai yang ia cintai sepenuh hati dengan sejarah kecintaan ideologi marhaenisme PNI Soekarno.
Maka jika Pak Ganjar akan "bernasib" sama dengan Ibu Rustriningsih, bersiaplah Pak Ganjar untuk kembali kepada rakyat. Hati akan terus menggema, meskipun kembali sebagai rakyat biasa.
Belajar kepada Bapak SBY
Politik itu berdarah darah jenderal, setidaknya darah kehormatan dan kewibawaan. Diawali dengan pencapresan SBY yang sebelumnya adalah anggota kabinet Megawati, Pak SBY percaya diri mengusung pencapresan dirinya melalui Partai Demokrat. Pak SBY pun dianggap "berseteru" dengan Ibu Megawati secara politik, karena dianggap "mbalelo".
Namun perjalanan hidup membawa pak SBY eksis sebagai presiden selama 2 periode, 10 tahun sebagai RI-1.
Hal yang biasa dalam politik, berseteru atau berbeda. Namun pasca jabatan 2 periode presiden SBY, maka di era Pak Jokowi adalah era PDIP yang mana memaksa Partai Demokrat AHY - putra SBY -, harus memainkan peran "pinggiran" karena tidak masuk dalam kabinet Pak Jokowi yang notabene PDI P.