Sahur on the road itu pernah digelar oleh komunitas Indosweden yang tinggal di Jakarta. Berbagi sahur kepada setiap orang dengan jadwal bagi sekitar pukul02-04 an dini hari. Namun memang pandemi telah meluluhlantakkan sebagian tradisi.
Semua kerumunan divonis akan menularkan covid19, dan bahkan akan dihukum seberat-beratnya. Ya memang tidak ada pilihan, karena India yang massive pada mandi di Sungai Gangga saja, akhirnya meledak kasus covid19 sampai ada data konon 30% kasus covid19 saat ini didominasi oleh India, bukan China.
Apapun kisahnya, banyak new normal bahkan abnormal atas tradisi sahur yang dirindukan. Akhirnya ya tradisi menjadi mati. Semuanya diem-diem bae, tidak ada "kerusuhan" di jam sahur yang disebabkan oleh kenthongan. tambur, bunyi-bunyian yang dilakukan oleh rombongan anak-anak.
Ternyata itulah sifat manusia, khususnya saya sendiri, ketimbang menyalahkan orang lain. Dulu saya merasa terganggu dengan bunyi-bunyian itu, karena sedang enak-enaknya tidur lantas dibangunkan dengan pekik dan hiruk pikuk.
Namun ternyata itu menjadi sesuatu yang dirindukan.
Hampir semua muslim yang punya masa kanak-kanak di desa atau dusun, merindukan suasana hiruk pikuk di saat sahur.
Kenthongan, oncor atau api dari bambu, keliling kampung menyanyikan suara fals bin sumbang, "Sahurr.... sahurrr.................".
Sekarang itu hampir tidak ada. YA ada mungkin ya, tapi jarang ditemui. Bahkan dulu ada acara anak-anak nginep di masjid, pulangnya di waktu sahur sambil keliling teriak-teriak sahur-sahur.
Sekarang semua asyik di depan gadget. Tradisi sahur keliling kampung semakin jauh dari kisah Ramadhan.