Dari blantika bajingan maling kecu begundhal kere unyik setan gombel gendruwo thek-thekan banaspati wewe kuntil anak dan sejenisnya saya punya cerita. Benar tidaknya, ya tidak tahu juga. Sekaligus ini sebagai disklaimer. Namanya juga cerita saling bercerita.
(1) Kuburan sebagai tempat sembunyi maling yang paling aman
Orang desa paling takut kalau membicarakan kuburan, pocong, dan sebagainya. Tapi itu dulu, kalau sekarang dengan banyak listrik di mana mana terang benderang, saya kok tidak tahu apakah masih takut dengan dedemit atau sejenisnya. Namun dulu kuburan adalah tempat yang sepi, gelap, dan dimitoskan angker.
Padahal bajingan yang pernah kenal saya bilang dengan jenaka, "Yo kui mas... cen menungso jirihan.. biasane nek awak ngene bar nyolong maling, mlayune yo neng kuburan. Mesthi tho ra wani nyedhak".
Jadi kuburan adalah tempat transit maling di desa ketika jaman PLN belum menyala. Karena saya sendiri juga pernah mengalami, bayangken, pada tahun 1992-an, melintas di desa di pelosok Magelang, berjalan di tengah gelap hanya saling berpegangan dengan warga yang hapal jalan. Waktu itu ada acara di masjid dalam desa yang jauh dari jalan raya, dan ojek belum populer.
Jian peteng ndhedhet, alias gelap gulita. Satu-satunya cahaya adalah bintang di langit yang tersaput mendung.
(2) Babi ngepet untuk ngalihkan perhatian
Babi ngepet sebagai pesugihan? Pancen banyak khayal orang pinter untuk membodohi orang bodoh. Babi ngepet biasanya akan dikejar warga desa, dan pada saat yang sama akhirnya ada warga yang kehilangan harta bendanya.
ya pasti hilang lha wong pas ngejar babi, semua penduduk pergi ke sana fokus ke celeng alias babi ngepet alias babi hutan yang sengaja dilepas oleh maling untuk mengalihkan perhatian. Itu dulu lho... sekarang ya ndak tahu..
Jadi babi ngepet bukan pesugihan, namun alat dari kriminal untuk mengalihkan perhatian dan terjadilah aksi pencurian tanpa disadari.