Setiap umat ada tradisi puasa. Baik itu umat Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Muslim, sampai ke kepercayaan kejawen atau yang lain. Puasa, dikenal semua budaya dan agama.
Yang berbeda adalah tata cara, dan bagaimana aturan yang melingkupinya. Dan terutama, berapa gelintir orang yang bersedia menjalankannya dengan sepenuh jiwa.
Bisa jadi di kalangan agama tertentu, yang berpuasa hanya tokoh agamanya. Yang umat biasa, merasa puasa yang penting hatinya bukan fisiknya.
Nah, kalau puasa Ramadhan bagi kalangan muslim, ya fisik ya moral ya mental ya spiritual. Jadi muslim tidak mungkin mengatakan "saya batin saja puasa, namun saya tetap makan minum biar seperti manusia biasa." Lhoo.. lha ya namanya itu bukan puasa bro...
KH M Muslih, Alumnus Pondok Pesantren Magelang dan aktivis Gembul (Generasi Mengaji Bantul) mengatakan bahwa puasa dalam khasanah muslim itu ada tata cara etika dan kaidahnya.
Makna puasa dalam bahasa Arab adalah shaum dan Siyam. Kata shaum berarti untuk menjauhkan diri dari sesuatu, menahan diri , untuk mencegah diri dalam bahasa Arab . Kalau puasa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya "mendekatkan diri dengan Hyang Maha Pencipta".
Nah, syiam atau shaum, dalam istilah fikih, itu berarti: untuk menjauhkan diri dari makan, minum, termasuk tidak melakukan hubungan suami-istri (jima) antara suami dan istri dari fajar sampai matahari terbenam (maghrib) dengan sadar dan dengan mencari tujuan .
Tujuannya adalah mencari keridhoaan Allah, dan selama puasa juga terlarang melakukan sesuatu yang merusak pahala puasa.
Apakah berarti setelah puasa boleh berbuat dosa?
"Ya bukan begitu, namun puasa Ramadhan adalah medan latihan tempur spiritual, di mana jiwa dan raga diuji dengan langsung bahkan fisikmu bisa gemetar meskipun pada waktu berbuka magirb tiba, semua isi dunia seakan dapat kita peroleh hanya dengan segelas teh anget manis, "kata KH Muslih setengah bercanda.