Mungkin ada pernyataan yang mengagetkan bagi yang belum paham. Bahwa semakin banyak binatang buas ditemukan, berarti ekosistem alam dan habitatnya relatif masih utuh.
Dan semakin jarang ditemukan binatang buas, berarti sumber makanan binatang habis, ekosistem rusak, atau manusia menjarah terlalu jauh masuk hutan.
"Maka kami secara reguler menjalankan ekspedisi hutan di tengah malam, untuk meninjau langsung dan monitoring situasi alam, "kata Fery Lens, aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia, di Banjarmasin (9/04/2021).
Bersama dengan kolega dari Australia, ekpedisi dilaksanakan dengan hati-hati karena sangat mungkin binatang buas ada di sekitar observer.
"Memang risiko menjalankan ekspedisi seperti ini adalah safety, high risk, sehingga tim harus terlatih dan terbiasa menghadapi situasi alam ganas alam natural, alam yang masih asli, "imbuh Fery Lens yang juga fotografer handal di bidang alam lingkungan.
Malam itu mereka masuk ke dalam hutan Meratus, kawasan yang masih dihuni Dayak Meratus dan alam yang terproteksi dengan baik. Bertemu dengan king kobra, katak yang bernyanyi nyaring ditimpuk suara serangga malam, juga aneka jamur atau serangga yang hanya ditemui di hutan.
"Bahkan saat ini banyak generasi muda yang tidak pernah bertemu kunang-kunang, padahal binatang ini eksotik karena memiliki lampu alamiah di punggungnya, "kata Fery Lens.
Bagi yang tertarik sesekali turut dalam ekspedisi ngeri ngeri senang ini, silakan menghubungi Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (bekantan.or) di Banjarmasin. Dijamin tidak menyesal karena akan punya pengalaman seperti dalam dunia National Geographic Channel.
Seumur hidup, sekali-kali masukila dunia alam yang asli di habitat liarnya. Pasti harus banyak berdoa dan paham safety serta evacuation, sebab ada risiko yang perlu dipalajari dan diantisipasi. (09.04.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H