Apa jadinya jika masa kecil dibully oleh lingkungan sendiri? Begini cerita Angela Duckworth yang sebenarnya, di balik karya spektakuler: Grit, Kekuatan Passion dan Kegigihan. Buku yang ditulis adal di tahun 2006, menjadi hits dan best seller di Indonesia pad atahun 2016-2018, dan buku terbitan Gramedia sampai naik cetak ke-enam pada tahun 2020. Saya juga membuat riset mengenai ini yang akhirnya memang menjadi disertasi. Kalau mau diuraikan, ya panjang lebar yang malah bikin pusing bagi pembaca. Saya ingin berbagi kisah ini, yang dalam bahasa yang lebih simpel dapat kita ganti frasanya menjadi "berpikir dan berjiwa tabah".
Frasa tersebut memang saya plesetkan dari buku lain yang tidak kalah spektakuler; Berpikir dan berjiwa besar, dari David J. Schwartz.
Berpikir dan berjiwa tabah, adalah frasa yang bisa mewakili bagaimana sukses adalah sebuah perjalanan panjang, termasuk bagaimana menggunakan energi "negatif", akibat bullying di masa kecil, atau hinaan dari sekitar. Dapat dipastikan, jika semesta bicara, hinaan dan bullying itu sejatinya adalah cambuk bagi jiwa, untuk secara diam-diam tekun tabah menggapai prestasi untuk membuktikan bahwa jiwa dan jati diri kita sebagai human beeing, tidaklah serendah yang dipikirkan atau diberlakukan terhadap kita.
Sebagian orang mengatakan ini sebagai "dendam positif", artinya ada perlakuan sekitar yang sangat menista, bisa jadi demikian, namun justru dengan penistaan itu jiwa bangkit dan berprestasi di masa depan. Konteksnya pasti bukan sekedar "pembuktian", namun sebuah proses panjang untuk menggali dan berjuang keras untuk mewujudkan hasrat untuk menghasilkan karya yang khusus dengan tujuan bukan pembuktian, namun benar sebagai aktualisasi diri.
Kita beri contoh di sekitar kita yang sederhana. Ada anak desa yang sering diejek di desanya, sebagai anak ingusan, cengeng, tidak mau diajak mencuri mangga, atau mencuri tebu, dan lain sebagainya. Hobinya hanya angon kebo, sambil kadang terlihat ia membaca buku dari sekolah. Thats true story lho. Anak-anak yang lain suka mengejek "sok rajin", dan lain sebagainya. Namun yang sebenarnya terjadi, karena di rumah ia juga dibuat sibuk kerja membantu orang tua bersih bersih rumah, memasak, atau bahkan ikut menderes air nira untuk dibuat gula jawa.
Kelak kemudian hari, si anak ini masuk militer dan berkarir cemerlang. Maka, anak-anak yang dulu menghinanya hanya bisa blangkemen, alias speechless. Meskipun si anak tetap rendah hati, namun pembelajarannya sangat tegas: berjalannlah meniti perjuangannmu sendiri, jangan kau hiraukan ejekan dan justru gunakan ejekan sebagai energi untuk maju berkembang menuju masa depan yang lebih pasti.
Masih banyak cerita lain yang menunjukkan jiwa yang tabah dengan perjuangan keras, akan terbukti sukses di kemudian hari.
KAMU BUKAN ANAK GENIUS
Sekarang, mari kita kembali ke kisah Bu Angela Duckworth. Semasa kecilnya, ia sering dibilangin ayahnya sebagai "kamu bukan anak genius". Sebagai migran yang hidup di Amerika, sebagian juga menimpa banyak keluarga di Nusantara, bahwa "kecerdasan, kejeniusan, IQ tinggi", adalah dianggap sebagai kunci sukses hidup dan jaminan reputasi kebanggaan keluarga.
Demikian pula dengan Bu Angela ini. Ayahnya adalah figur orang tua yang sangat menyetandarkan diri dalam kejeniusan, kepintaran, dan kelebihan di banding orang lain. Ayahnya adalah sosok yang snagat percaya diri sebagai orang yang cerdas, dan orang lain lebih rendah dibandingkan dirinya. Di luar konteks ini positif atau negatif, demikian adanya yang terjadi. Sang ayah sangat khawatir, jika anak-anak tidak tumbuh cerdas dan genius, hidup akan sengsara dan tidak mampu mencapai prestasi-prestasi dalam karir dan kehidupan.
Hingga suatu ketika, Bu Angela ini mendapatkan Beasiswa MacArthur, skema reward yang diberikan kepada siswa yang masuk kategori genius di mata asesor dan komite MacArthur.
Bu Angela ini merespon berita dirinya mendapatkan beasiwa ini dengan "bersyukur dan takjub", lho kok iso ya... dan langsung ingat diagnois ayahnya yang mengatakan ia "tidak jenius dan tidak intelek". ...... (bersambung) .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H