Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hidupku Penuh Keajaiban (3)

13 Maret 2021   07:25 Diperbarui: 13 Maret 2021   21:24 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama kolega di Jepang (Dokpri)

Syukur tiada akhir. Itulah yang ingin saya wartakan kepada dunia. Ketika hati sedang melow, membayangkan kehidupan akan berakhir esok hari. Apalagi kalau ingat dengan keluarga yang mendahului kita. 

Bapak saya wafat ketika saya sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 1995. 

Ibu saya wafat ketika beliau sedang menjalankan ibadah haji pada tahun 2013. Sehari sebelum beliau wafat, masih terdengar telpon dari beliau. Saya posisi berada di Sumenep, dan justru Ibu yang menyempatkan telpon saya dari Tanah Suci. 

Semoga Allah mengampuni dan meridhoi Bapak dan Ibu,  dan juga kita semua. 

Bersama kolega di Jepang (Dokpri)
Bersama kolega di Jepang (Dokpri)

Saya berkisah tentang masa lalu bukanlah untuk membuka lembaran kisah luka. Atau pun kisah duka. Bagi saya, semua sudah berlalu. Saya hanya ingin mewartakan, jikalau di masa lalu itu ada suka cita, itu akan berlalu. Jikalau di masa lalu ada duka lara, itu pun juga akan berlalu. Jika di masa lalu ada yang baik hati, tulus peduli kepada kita, beliau beliaupun akan pergi meninggalkan kehidupan ini. Jika di masa lalu ada orang yang benci atau bahkan mencelakai kita, mereka pun pasti juga akan pergi dari permukaan bumi ini.

Kisah masa lalu, lebih saya gunakan sebagai ibrah.  Dan juga meningkatkan rasa syukur. Bahwa kehidupan penuh keajaiban. Dan karunia tidak terhingga. 

Pelajaran bagi saya sendiri khususnya. Jika berguna bagi orang lain, alhamdulillah juga. Dan saya mohon maaf bagi siapa pun yang barangkali di masa lalu, atau malah masa kini, dan bahkan masa depan, yang pernah saya lukai atau malah jadi korban sikap perilaku saya.  Semoga ketika berpulang, saya akan lulus dengan jiwa yang tenang sebagaimana dijanjikan Nya. 

Masa SMA

Beranjak dengan hati yang kecewa dari SMP, saya melanjutkan sekolah ke Kota Jogja dengan bekal hati galau. Galau, karena Nilai Ebtanas Murni saya dianggap pas-pasan di kompetisi Kota Pelajar. Dengan rata-rata 8 koma sedikit, agak berbahaya mendaftar SMA di Kota Yogya yang berdasarkan info nilai Ebtanasnya hampir di atas 9 koma. Dengan jumlah kata pelajaran yang di Ebtanaskan sejumlah 6, maka nilai 8 koma adalah antara 48 - 54. 

Nilai saya ada di antara itu. Namun siswa yang mengejar SMA di Jogja, banyak yang melampaui itu. 

Ya kalau ingat, antara sedih dan ingin menyalahkan. Namun apakah itu salah, jika kita ingin sekolah di sekolah favorit yang ketika itu adalah SMAN 1 Teladan Yogyakarta dan SMAN 3 Padmanaba. Sekolah yang lain ya pasti punya keunggulan, namun memang pikiran saya "agak tersesat", dengan ambisi-ambisi yang akhirnya, saya anggap berlebihan juga. Mungkin nilai (value) yang kurang tepat, yang membuat saya "mengejar-ngejar" untuk selalu mengejar nilai (skor raport/ujian/akademik) setinggi mungkin. Dan tidak tergapai ketika itu.

Periode tahunnya adalah 1987 - 1990. Periode tahun yang (masih) menyesakkan hati. Masuk ke sekolah - yang alhamdulillah masih negeri - dalam satu rayon dengan SMAN 1 Yogya. Ternyata, di sekolah saya ini, SMAN 7 Widya Bhakti Taruna (WIBHAKTA), juga berkumpul banyak sekali "siswa lemparan" dari SMAN 1 Yogya yang nilainya tidak menjangkau 50,29. Saya masih ingat, nilai NEM terendah di SMAN 1 Yogya yakni 50,29, dan siswa tertinggi nilai di sman saya adalah 50.28. Kelak, kami yang "terlempar" ini berjibaku belajar di SMAN yang ketika itu dianggap "tidak favorit", dan akhinrya kami juga - alhamdulillah - tembus masuk UMPTN, baik di ITB, UGM, UNDIP, UNS, STAN, dan lain sebagainya. 

Saya sendiri - sangat alhamdulillah - kelak masuk dan lulus dari Universitas Gadjah Mada. 

Kelak, alumni SMAN 7 mendirikan Yayasan Alumni WIBHAKTA,  yang ditujukan untuk saling berbagi, motivasi, dan silaturahim. Saya termasuk dalam Dewan Pendirinya, bersama dengan beberapa alumni lain dari ITB, UGM, UNS, dan lainnya bergabung sebagai Pendiri. Tinggal sekarang bagaimana melanjutkan program yang juga sedang terkendala Covid19 ini. Beberapa event sudah pernah kami gelar pra Covid19, baik internal sekolah maupun bergabung dengan jaringan Sekolah lintas provinsi.

Masih banyak cerita lain, saya coba merekonstruksi ulang secara perlahan. 

Berbahagia reuni dengan bapa ibu guru dan teman (Dokpri)
Berbahagia reuni dengan bapa ibu guru dan teman (Dokpri)

Orang-orang yang tulus, selalu ada. Masa SMA sudah lama berlalu, lebih dari 30 an tahun yang lalu. Namun kami masih sering bertemu, dan saling mensyukuri bahwa kehidupan berat di masa remaja, akan berlalu digantikan masa sangat bahagia dengan limpahan barokah Nya.

Salah satunya adalah  sahabat saya, Mas Tomo, sekarang profesional di Freeport Indonesia, setelah lulus ITB selepas dari SMAN 7 Wibhakta. Ada juga Mas Budi yang Teknik Elektro UGM dan sekarang mukim di Malaysia sebagai tenaga ahli di bidang IT setelah sebelumnya mukim di Australia. 

KOK KAMU KURUS ?

Komentar yang menjengkelkan ketika SMA adalah "kamu kok kurus". Seakan-akan, saya menderita dan kelaparan. Padahal, bisa jadi demikian. hehehe... Sebab, meski jarak tidak sampai 20 km, namun saya kost di Jogja mendekati lokasi sekolah. Dan masak nasi sendiri, lauknya beli. Dengan banyak keterbatasan (semoga Allah mengampuni saya, saya terus bersyukur atas karunia sekarang ini), memang perut lebih sering lapar daripada kenyang. Saya kenyang itu ketika musim liburan dan tinggal di rumah di Bantul ketika itu. 

Saya bertanya ke guru saya yang baik (sekarang almarhum), Bapak, bagaimana caranya menggemukkan badan?

Beliau dengan sabar menjawab, ya makan yang baik dan coba tidur siang. Itu akan meningkatkan berat badan. Saya masih ingat, dengan tinggi 167 cm, berat badan saya sempat di kisaran 48 - 50 kg. 

Lantas, saya mengikuti saran dari Pak Guru yang baik itu. Seusai sekolah, saya sempatkan tidur. Namun berat badan tidak kunjung naik.

Cape deh.... kelak ketika kuliah ikut nge-gym, berat badan naik 52 -54, hingga setelah menikah menyentuh 58 kg. 

Aduhhh... jadi tembem dan gak enak.  Lhoo... sekarang terbalik, dulu 58, sekarang di kisaran 85 an kg. Sampai anak saya tidak percaya kalau bapaknya pernah kurus.

Weladalah....semoga sehat barokah utuk kita semua...... (13.03.2021) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun