Membuka lembaran lama dan merefleksikan di hari kini. Dan hari kini pun pasti akan berlalu. Mencatat masa lalu, dan merenungi apa yang telah terjadi. Dan selalu saya temui banyak keajaiban hidup di dunia ini.
Ajaib, karena sama sekali, seakan-akan, semua baru terjadi kemarin. Apalagi jika komunitas masa lalu itu masih ada di depan hidung kita. Teman sahabat, bahkan pembully ada di depan kita.
Tertawa gembira, seakan dahulu benar-benar hanya sebuah bingkai cerita. Yang terpasang di dinding kamar. Hanya sebuah cerita. Seakan tidak terjadi secara nyata.
Padahal ia, ya barangkali, nyata. Atau jangan-jangan tidak nyata. Namun kalau melihat dokumentasi foto, atau lembaran nilai raport yang pernah ada, itu memang terjadi. Sebagian seakan seperti mimpi.
Masa sekolah menengah pertama, periode tahun 1984 - 1987. Naik sepeda jengki yang maunya buatan RRT, yang ketika itu sangat terkenal berkualitas tinggi. Namun karena harga tidak terjangkau, ya sepeda jengki biasa saja.
Namun oleh Ibu, saya dibelikan baru. Latihan naik sepeda dari dusun di pinggiran Kali Opak, sampai di Jebugan Bantul, dilatih Bapak saya dengan muter-muter sampai kota Bantul. Saya masih ingat, selangkangan saya sampai kesemutan, gringgingen. Rasanya kebas-kebas darah berhenti mengalir.
Suasana kelas agak mengejutkan saya yang dari dusun itu. Kelihatan anak-anak yang dari "kota" Bantul, tampak percaya diri dan saling bersahutan kalau mengobrol. Baik di kelas, maupun di luar kelas.
YA sebenarnya karena mereka dari SD yang sama. Atau tetangga rumah. Jadi pastinya sudah akrab duluan. Saya yang sendirian dari SD di dusun, merasa mulai minder dan kecil hati.
Namun berbekal juara pertama di SD, saya masih ingat nilai 5 mata pelajaran utama skornya 9, yakni Matematika, IPA, IPS, Bahasa, Agama, dan PMP Pendidikan Moral Pancasila. Seingat saya itu mata pelajarannya. Belum ada Nilai Ebtanas Murni atau NEM, namun nilai saya ya itu. Seingat saya lho ya...
Ya intinya berbekal nilai bagus itu, saya maunya percaya diri sekolah di "kota" Bantul. Jebulannya anak-anak di kota itu lantang-lantang ngobrolnya.
Dan akhirnya, entah mengapa, saya juga "lantang: suka menyahut guru ketika guru menerangkan pelajaran di kelas. Setiap kali ditanya, mengacungkan jari. Cape deh.... kalau ingat ya mungkin agak malu kok mau-maunya pro-aktif banget.