Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hidupku Penuh Keajaiban (02)

12 Maret 2021   04:36 Diperbarui: 12 Maret 2021   04:39 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan bersama teman di Eropa, tidak terbayangkan ketika SD  (Foto: dokpri) 

Hingga guru PMP saya, Ibu Mujilah, sering menyuruh saya membaca teks materi PMP dibaca di ruang kelas. Itu karena suara saya keras dan menggema. 

YA suara keras menggema mungkin karena di SD saya sering disuruh jadi Komandan Upacara sekaligus juga Komandan Peleton Inti sekolah yang ketika itu diberinama Kelompok Baris Berbaris. 

Suara menggema saya ini akhirnya, ketika itu lho ya, menjadi bumerang bagi saya. Saya disuruh menjadi Pembaca Acara Upacara. 

Jadi, Upacara Bendera kan ada Petugas yang banyak, dari Komandan Regu, Komandan Upacara, Dirigen, Paduan Suara, Pembaca Doa, Pembaca Teks Pancasila, dan Pembaca Susunan Upacara.

Jalan bersama teman di Eropa, tidak terbayangkan ketika SD  (Foto: dokpri) 
Jalan bersama teman di Eropa, tidak terbayangkan ketika SD  (Foto: dokpri) 

Dari suara yang menggema, saya berubah menjadi gemeteran. Suara nyangkut di tenggorokan. Benar-benar "memalukan" ketika itu. 

Saya sudah bilang ke Ibu Mujilah, agar jangan dijadikan petugas yang membacakan Susunan Acara Upacara Bendera, namun beliau percaya saya bisa. Saya tidak berani membantah. Namun dada berdebaran, berdegup sangat kencang. Sangat nervous tanpa dapat dikendalikan.

Lah dalahhh.... tobil anak kadal. AKhirnya terjadilah sejarah memalukan itu. Saya membacakan Susunan Upacara, dengan mikropon yang keras, namun suara saya kelihatan gemeteran tidak karu-karuan. 

Ini tidak bisa saya lupakan. Sampai sekarang. 2021 - 1984. Sudah berlalu sekitar 37 tahun lamanya. Dan saya masih ingat. Dan masih bisa merasakan gemeterannya. Dan saya merasa kasihan pada diri saya yang kecil minder ketika itu. 

Alhamdulillah...... memang semua berlalu. Masa duka cita sekolah di SMP masih terus membelenggu ketika itu. Saya yang dulu di SD selalu juara 1, di SMP ini maksimal Juara III, itu pun hanya di 1 kelas. Padahal masing-masing jenjang ada 5 kelas. 

Saya juga heran, kok ketika itu saya selalu ambisi mau juara I. Sehingga berisiko jatuh mental karena tidak kesampaian. Juga di SMP, saya juga "marah" kepada guru Bahasa Indonesia yang "gagal" mengajarkan kepada murid khususnya saya, dalam bidang karang mengarang, tulis menulis. Ketika SD saya mendapatkan nilai SEMPURNA untuk pelajaran mengarang, namun di SMP pelajaran ini dikesampingkan dan tiap kali saya ingin ikut lomba mengarang, seakan-akan tidak ada kesempatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun