Saya lulus SD tahun 1984, jadi kira-kira tahun 1980 an ya. Singkat cerita, saya berkelahi di perempatan itu. Reflek apa saya malah tidak ingat, sepertinya gerak tinju maunya meniru Muhammad Ali yang sangat sohor ketika itu. Waduhh... "musuh" saya langsung menjambak saya, dan mengoyak tubuh saya membanting ke tanah. Guling-gulingan, dan akhirnya dipisah oleh teman yang lain.
"Uwis... uwisss..... cukup ikiii...", begitu kata teman lain yang memisah.
Siapa yang kalah, siapa yang menang? Kayaknya draw. Sebab wajahnya kena cakar dan pukulan saya, namun rambut saya kejambak dan tidak mau dilepaskan. Tangan saya posisi mencekik dia. Seru pasti ya...
YA sudah... selesei duel saya dengan teman saya SD itu. Namun, hati saya jadi tersedu. Ketika beranjak dari tempat itu, saya pulang sendirian. Mata saya sembab, merasa sendirian. Sementara dia beranjak dari tempat duel, ya meski badannya juga uwel-uwelan kotor, namun ia pulang bersama 2 orang kawannya.
Kelak di kemudian hari, dan ini sudah terjadi, lawan duel saya ini jebulannye menjadi preman di Jakarta. Dan saya bertemu dia, tertawa-tawa dia bercerita tentang duel saya dulu, dan kisah dia terdampar di ibu kota sebagai preman jalanan.
Saya pun ikut tertawa sambil agak ngeri, karena dia masih cerita di dunia kekerasan dan banyak adegan cerita pembunuhan, pengeroyokan, dan kekerasan lainnya. Saya akhirnya memang berteman akrab dengan dia, dan tidak ada masalah apa pun sampai sekarang.
Namun saya melihat, betapa saya jauh lebih beruntung ketimbang dia. Saya bersekolah sampai jauh, dan dia putus sekolah di SMA sampai ngeluyur di Jakarta namun bukan sebagai karyawan justru bermasalah secara sosial dan hukum. Ada kejadian pembunuhan, di mana dia bercerita kisruh antar gang ketika itu.
Dia sendiri saya lihat baik-baik saja, dan hormat secara wajar kepada saya saat ini. Saya juga tidak mau mengusiknya. Masa lalu yang sangat lama terjadi, dan entah mengapa selalu saya ingat bahkan sampai ketika teman yang lain teriak-teriak mau memisahkan duel atau gulat anak ketika itu.
Moralitas cerita: saya bersekolah di tempat yang sama, bersahabat, berkonflik, berdamai, namun nasib akhirnya berbeda.