Apakah hidup ini rasional, atau tidak rasional? Saya pernah mencoba bertanya kepada peserta ketika saya sebagai instruktur di sebuah pelatihan kepemimpinan. Sebagian menjawab, rasional. Semua bisa dihitung dan dikalkulasi. Nalar dan logis. Barangsiapa rajin, maka ia akan memperoleh kerajinanya. Barang siapa malas, maka ia pun akan memperoleh hasil dari kemalasannya. Dalam hal ini, logis dan rasional.
Pertanyaan lain, apakah orang yang punya usaha sama, akan memperoleh hasil yang sama?
Apakah orang yang berproses kurang lebih sama, akan memiliki risiko atau dampak atau hasil atau akibat dari apa yang sama-sama diusahakan?
Di sinilah irasioal dimulai. Ada orang yang secara nalar sehat, bahagia, dan diramalkan akan berusia panjang. Namun kenyataannya, mati muda dan kita memang bersedih, namun apa mau dikata. Ada orang yang diramalkan akan sengsara dan mati muda, namun justru berusia panjang, soleh di hari tua, bahkan kaya dan sejahtera. Apa mau dikata wahai manusia?
Sama dengan hidup saya ketika saya menengok ke masa lalu. Lebih ajaib, masa lalu itu masih hilir mudik di depan hidung saya. Sebab, sahabat teman kerabat saudara dan bahkan para pembully di masa lalu, masih hadir di depan mata dan berinteraksi dengan kita. Dan situasi sudah sangat berbeda.
Masa Sekolah Dasar. Saya menghabiskan, wah.. saya ralat.. bukan menghabiskan, kok kesannya habis habisan. Saya menjalani masa sekolah dasar di sebuah desa jauh di dekat pinggiran Sungai Opak. Atau Kali Opak yang penuh kisah misteri, misalnya lampor di Kali Opak, dan lain sebagainya.
Apakah saya bahagia di masa sekolah dasar? Alhamdulillah, sangat berbahagia. Apalagi ketika itu, seburuh-buruk prestasi raport saya, pasti masih terbaik. Padahal ibu saya yang guru SD, tidak pernah membocorkan soal ujian. Saya dilepas begitu saja belajar sesuai dengan prosedur di sekolah.
Kisah bahagia ini bertimpuk dengan kisah duka. ALhamdulillah, kisah duka tapi ya saya tidak terluka. Hanya kadang kasihan pada diri sendiri, kok dulu begitu ya.. Hehehe...Terutama kalau ingat kisah kecil duka semasa kanak-kanak.
Alkisah saya ditantang duel. Berkelahi. Entah mengapa, ada seorang anak tetangga desa, menantang kelahi. Dia bertiga, saya hanya sendirian. Nantang kelahi di perempatan desa. Namanya juga anak-anak, saya ladeni itu. Namun konyolnya adalah, saya tidak punya pengalaman bertengkar, dan tidak terlatih bela diri. Hanya menuruti nafsu saling nantang anak-anak usia kanak, ya sekitar usia 8 tahunan atau kelas 2 SD ketika itu.