Setelah sekian lama dipertanyakan kualitas beragama bangsa ini, akhirnya gong ditabuh oleh Mendikbud Nadhiem Makarim dengan format Akhlak dan Budaya. Nomenklatur agama dihapus, dan digantikan dengan Akhlak dan Budaya. Tidak kurang para petinggi MUI Majelis Ulama Indonesia, mengajukan keberatan dan atau mempertanyakan kebijakan ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada banyak media menyatakan keterkejutannya melihat perencanaan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam draf terbaru, frasa agama dihapus dan digantikan dengan akhlak dan budaya. Konsepsinya memang cerdik, yakni "draft terbaru", artinya masih sangat mungkin diubah atau disempurnakan.
Ini ibarat memantik api di tengah sekam. Sebab isu-isu seputar agama sejatinya masih sangat sensitif dan mudah memicu sosial chaos di negara kita. Setidaknya, kontroversi telah dipantik lagi. Setelah ucapan salam Pancasila ditolak dan digantikan dengan salam semua keyakinan, sekarang frasa atau nomenklatur atau istilah agama, digantikan dengan akhlak dan budaya.
Memang unik masyarakat kita ini. Tidak semua orang beragama disiplin menjalankan ajarannya. Namun ketik agama diusik, maka dipastikan akan timbul cercaan dan serangan terhadap orang atau figur yang dianggap menyerang eksistensi agama. Apalagi sempat ada zona pertempuran sosial baru yang akan membenturkan agama "asli" dengan agama "asing". Akhirnya ada Tuhan Asli dan Tuhan Asing.
Jadi bagaimana sebaiknya?
Entah mengapa banyak pengambil kebijakan, ya oke deh bukan banyak tapi ada lah, pengambil kebijakan, yang tidak peduli terhadap sosiopsikologis masyarakat. Sehingga kebijakan yang semestinya baik, belum apa-apa justru memantik kontroversial. Dan energi rakyat akan kembali terkuras berdebat sesuatu yang tidak produktif.
Banyak pendakwah yang mengatakan "inti sari agama adalah akhlak, dan perilaku. Maka orang yang beragama, akan lebih beradab, berbudaya, berperilaku yang baik, akhlaknya baik".
Maka, secara pengertian umum, agama diganti "akhlak dan budaya" sebenarnya tidak ada masalah.
Namun komunikasi publik dan pemahaman psikologis masyarakat yang memprihatinkan, sehingga kebijakan akan ditentang habis-habisan oleh masyarakat yang belum atau tidak paham terhadap hakikat frasa atau nomenklatur atau terminologi tersebut.
Sama dengan Gus Dur almarhum, pernah mengatakan bahwa Assalamu'alaikum dapat digantikan dengan Selamat Pagi. YAng namanya dapat digantikan, bukan berarti semakna. Karena dalam frasa assalamu'alaikum, ada unsur doa bagi yang mendengar. Sedangkan Selamat Pagi hanyalah sapan biasa.