Menjelang panen padi. Seorang tokoh agama di kampung membawa bakul nasi. Lengkap dengan lauk pauknya. Utamanya ayam ingkung. Simbol kenikmatan anak-anak dusun. Telur ayam. Simbol kesuburan gadis-gadis desa yang siap dipinang para perjaka. Ada gudangan, sayur kukus dan rebus yang bisa terdiri bayam, kacang panjang, mentimun, dengan sambel kelapa yang pedes gurih putih memerah. Nasi yang kemebul hangat meliuk-liuk aroma mengangkasa. Embun uapan dari bakul yang terbuat dari bambu, menambah aroma nikmat kulineri di desa. Kemriyuk sambel kedelei hitam yang pedes renyah, sudah terbayangkan.
Tidak ada dupa untuk tradisi Wiwitan masyarakat petani di wilayah pesisir. Namun masih ada, jika masuk ke pedalaman desa di selatan Yogyakarta. Saat ini dihidupkan untuk atraksi wisata.
Itu adalah pesta syukuran kecil menjelang panen di desa. Bukan pemujaan. Ya meskipun bisa jadi ada juga yang masih melakukan pemujaan. Ada juga yang khusus berdoa untuk Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi doa-doa dilantunkan, kaum rois memanjatkan doa untuk keselamatan warga, kemakmuran desa, dan panen yang melimpah.
Jaman doeloe, memang ada unsur pemujaan kepada Dewi Sri. Ratu kesuburan dan kemakmuran. Dewi Sri digambarkan sebagai bidadari yang melindungi petani. Bersahabat dengan tanaman. Menumbuhkan banyak buah-buahan. Serba subur sing tinandur, serba makmur sing bersyukur. Itulah slogan yang berkembang. Dewi Sri memang bisa dikatakan budaya yang dibawa bangsa Hindu India, dan merasuki tanah Jawa di jamannya. Setelah era Walisongo, maka tradisi terus dilanjutkan dengan merekonstruksi doa dengan pemujaan Hyang Maha Tunggal. Tuhan Yang Maha Esa. Yang Maha Memberi, Yang Rahman dan Rahim.
Di balik itu, sego wiwitan adalah upacara yang ditunggu-tunggu anak-anak desa. Termasuk saya ketika itu. Nasi akan dibagi dalam pincuk daun pisang. Suru, sendok dari daun pisang, juga siap dilipat untuk mengambil makanan dan lauknya. Ini adalah pesta kulineri. Anak-anak senang.
Maka ketika pak Rais Kaum desa berdoa, sangat keras bunyi anak-anak menyahut, " Aaamiinnnnnnnn... aaamiinnn......".
Tujuannya biar doa segera selesei, dan makan akan secepatnya dimulai.
Pesta syukuran sego wiwitan. Romantika yang semakin hilang. Bahkan bisa jadi memang sudah hilang. Sebagian mengubahnya dalam bentuk Resto Ndeso, dengan menu andalan Sego Wiwitan. Artinya nasi yang dibuat dari panen awal, dijamin nasi pulen gurih agak manis, dan butirannya besar.
Barokah selalu hidup di desa. Bersyukur atas karunia-Nya. Sehat selamat sentosa warganya. Semoga pandemi segera berakhir, rasanya saya ingin segera ziarah ke desa, dan siapa tahu bertemu dengan Sego Wiwitan Party. Jika tasyakuran yang kadang dilakukan di STIAMAK Barunawati Surabaya, dilakukan dengan berbagi bersama pemangku kepentingan. Ya karena namanya di Kota besar Surabaya, mau mencari sego wiwitan kon sulit banget ya...
Wahaiii... kalau menyeberang ke Madura, bukan Sego Wiwitan yang ditemui. Namun nasi bebek Sinjay goreng, atau bebek Sokem yang enak lembut dikukus. Ahhh..... alangkah nyamannya hidup ini....... (16.02.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H