Dan, akhir kata, selalu diikuti oleh pertanyaan, apakah kami berencana akan kembali ke Indonesia. Uniknya, pertanyaan ini selalu mereka jawab sendiri,... "Ah anak-anak kamu sudah jadi Norwegian, pasti sulit bagi mereka kalau kembali ke Indonesia,...!"
Ini bukan kali pertama saya mendengar ungkapan serupa. Dulu, profesor saya di Trondheim juga sudah ngomong hal serupa waktu saya memasuki tahun ke-enam tinggal di sana.
Sepertinya ada yang salah dng orang-orang ini,... kami belum tinggal lama di sini, ngomong pun masih belepotan,... tapi sudah di-klaim sbg sama dan setara dengan "mereka".
Mereka tidak tahu,... keluarga kami sudah tinggal di Indonesia empat generasi (kalau dihitung dari kakek saya), dan delapan generasi (kalau dihitung dari nenek saya),... kami pun masih dibilang bukan WNI,... dan masih sering diusir, disuruh balik ke Cina. (VR)
---
Integrasi etnis budaya memang tidak mudah. DI satu sisi masih ada situasi yang dirasakan sebagaimana pak Vincent rasakan. Atau lebih tepat sedang dipikirkan. DI balik itu, konon justru Indonesia adalah negara yang paling sukses memedomani Bhinneka Tunggal Ika.
Berbeda dengan Malaysia, yang etnis terbagi ekstreem, antara Melayu, India, China, dan lainnya. Sedangkan di Indonesia, antara Jawa, Sunda, Banjar, Dayak, Tionghoa, dan lain-lain sudah menyatu berbaur menjadi satu. Suku yang bisa jadi karena agak berbeda, Papua, juga sudah menyatu meski isu-isu lokal kok ya masih ada.
Kenyataannya, prasangka masih ada. Tanggung jawab bersama untuk meminimalisasi itu. Atau setidaknya mengelola agar tidak mengemuka dan berubah menjadi masalah nyata.
Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa (13.02.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H