Menjadi manusia itu dapat dipastikan tidak sempurna. Sempurna itu berarti 100%, kalau lebih dari itu berarti deviasi. Terlalu. Sama halnya bagaimana jika 1%. Sama artinya itu sangat kurang. Juga terlalu. No body perfect, bahkan nenek kakek moyang manusia bernama Nabi Adam AS, juga pernah salah, dan putranya terlibat perkelahian berebut sesuatu yang justru ada pembelajaran bagaimana manusia harus menguburkan jenazah jika ada saudara tetangga teman atau umat yang wafat. Pertanyaannya, di manakah makam Nabi Adam, siapa yang menguburkan, apakah wafatnya dikafani, atau pakai jas, apakah di jaman itu sudah ada kain yang ditenun, dan lain sebagainya.
Banyak pertanyaan di dunia ini yang bisa jadi belum selesei, namun ajal telah menjemput kita. Kita pun wafat dengan sukses. Bisa juga wafat dengan tiba-tiba. Kaget. Kok tiba-tiba berpindah tempat. Jika di tempat asing ada yang lebih mengejutkan, lantas kita dikirim balik, hidup lagi. Itu mati suri, sebagian manusia ada yang mengalami, ketika menjadi jenazah sedang didoakan, malah hidup sehingga jamaah kocar kacir ketakutan.
Berapa ton tanah di dunia ini jika dihitung, berapa mega trilyun meter kubik seluruh air, bahkan berapa liter seumur hidup kita kebutuhan air oksigen makanan dan lainnya? Kita tidak tahu. Mengapa Biden berusia 74 tahun malah menjadi presiden, apakah Amerika krisis kepemimpinan dan yang lain usia hanyalah melongo tidak mampu, kita juga tidak tahu. Mengapa ini mengapa itu dan sebagainya, sebagian ada jawaban, sebagian besar belum terjawab sedangkan usia kita terbatas.
Ujian ataukah Pembiaran?
Sebagian orang bertanya, mengapa ada orang beriman namun miskin, ada pendosa namun kaya raya? Teori manusia mengatakan, bisa jadi si beriman itu hanya berdoa melulu namun tidak berusaha, sedangkan si pendosa malah bekerja keras dan mendapatkan hasilnya. Jika orang beriman itu akan kaya raya, mengapa kaum beriman di Amerika Selatan banyak yang miskin, mengapa sebagian warga Indonesia juga masih suka meminta-minta di jalanan atas nama iman, mengapa tidak bekerja keras sebagaimana yang diajarkan agamanya, mengapa negara tidak menangkap warga yang meminta minta itu dan memeliharanya karena fakir miskin dan anak telantar sejatinya dipelihara oleh negara?
Kita tidak tahu. Tidak tahu? Ya tidak tahu, kalau tahu harusnya kita juga mampu berbuat sesuatu. Menolong langsung, atau memberikan pancing untuk mencari ikan. Ah teori, iya memang teori, dan sebagian mampu menolong semampunya, meskipun hanya memberi ikan tidak dengan kailnya.
Banyak pertanyaan hidup di dunia ini yang belum sempat kita ketahui jawabannya, ternyata kita harus mati. Fisik mati, jiwa melayang, atau berpulang, sebelum ada masa kemudian untuk diberikan pengadilan. Ketika mulut tidak bisa bicara, dan hanya tangan kaki perbuatan semua bersaksi. Apa yang telah kita lakukan di dunia ini.
Bukankah jika demikian, tidak ada pilihan lain kecuali berbuat kebaikan tanpa henti?
Hidup itu ujian, dan ada yang bilang ujaan, diuji beda dengan diuja. Diuji berarti ada orang beriman, tapi diberikan penderitaan biar lulus apakah ia tetap beriman, ataukah ia berpindah keyakinan menjadi tidak beriman? Diuja, berarti dibiarkan, ada orang tidak beriman tapi diberikan kenikmatan hidup, sehingga terkesan ia sukses hidup padahal tidak beriman,maka ia tidak sadar sedang diuja aliaskan dibiarkan oleh Tuhan.
Itulah yang dikenal sebagai istidraj. Pembiaran.
Kisah panjangnya ada di beberapa riwayat, termasuk kalau iman Kristiani, jika Yesus itu Tuhan mengapa ia disalibkan? Mengapa darah dibiarkan tumpah dengan mahkota duri? Jika iman muslim, mengapa sebagian tokoh muslim gugur juga dengan penuh noda darah, karena korban pembunuhan politik, atau juga dalam perang? Mengapa kaum beriman tidak dibiarkan menang, aman, nyaman, sehat, hidup wajar, tidak menderita, dan penuh suka cita?
Itulah ujian.
Di satu sisi, kaum tidak beriman mencapai kemenangan dan kemakmuran di dunia.
Itulah ujaan, atau istidraj, pembiaran.
Sebenarnya filosofinya sama, itu pun ujian. Apakah akhirnya manusia akan berpulang dalam kondisi beriman, ataukah dalam kondisi ingkar terhadap keberadaan Tuhan.
Bersama ini saya menghimbau kepada kaum beriman di mana pun anda berada, termasuk saya sedang menasehati diri sendiri, jangan berhenti untuk berbuat baik bagi umat manusia di muka bumi ini. Era pandemi sudah terbukti, baik yang beriman maupun yang tidak, semua akan mati. Bagi yang beriman, masih beruntung punya pengharapan besar bertemu Tuhan dan memohon kerahman kerahiman Nya, sebagaimana dijanjikan dan kita berusaha meraih ridho Nya.
Bagi kaum yang tidak beriman, ya sudah tinggal nanti dihadapi bagaimana pengadilan abadi telah menanti. Sebelum ajal datang, saya mengajak yang belum beriman bersegeralah beriman.
Dengan demikian, semua jawaban atas pertanyaan yang tidak mampu dijawab manusia, akan menemukan kuncinya ketika kita selesei di dunia ini.
Ada banyak pertanyaan yang tidak mampu dijawab manusia, namun waktu kita telah habis. Kita wajib mati di kelak kemudian hari.
Namun Sapardi Djoko Damono menyatakan, sesungguhnya yang fana itu waktu, sedangkan manusia abadi.
Waktu di dunia bisa berakhir, namun manusia hanya mati raga, jiwa tetap abadi berpulang ke haribaan Nya. Bukankah itu menakutkan bagi yang tidak percaya adanya Tuhan, ternyata Tuhan ada?
Bukankah itu pengharapan besar bagi kaum yang beriman karena selama hidup ini selalu berharap akan kemahakasihsayangan Tuhan.
... kembali ke alinea awal, lanjutken... cepat atau lambat kita akan berpulang, tidak ada waktu untuk berdebat, segera beriman dan lakukan kebaikan. (24.01.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H