Malam jumat yang penuh hikmat.
Saya ingin berbagi kisah kepada anda semua.
Kejadian-kejadian yang saya alami, saya hadapi, atau saya dengar dari orang di sekitar kita.
Termasuk, saya terkesan dengan oom Busye (Oom Motinggo Busye), pengarang roman yang agak heboh di jamannya.
Saya menyesal, tidak sempat berfoto dengan beliau yang sekarang sudah almarhum. Padahal, saya pernah satu kantor di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Sekitar tahun 1997/1998. Sebelum reformasi yang menyebabkan Jakarta bergejolak, lantas saya jobless, dan pulang ke Yogya untuk selanjutnya bekerja di kota lain.
Saya juga akan berkisah dengan inspirasi dari alm Bpk Jacob Oetama, meski hanya sepintas.
Juga tentang seorang pimpinan lokal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
***
Motinggo Busye
Salah satu ide beliau, adalah , "Nug, coba sekali tempo kamu belajar menjadi tuhan, ya bukan tuhan beneran.. tapi seakan-akan kamu adalah tuhan, "kata beliau suatu ketika.
"Bagaimana mungkin manusia meniru Tuhan, "ujar saya tidak habis pikir.
"Begini, apakah kamu merasa terganggu ketika di perempatan ada pengamen minta uang? Atau ketika naik bis kota, metro mini, ada pengemis yang menghiba-hiba minta receh rupiah?" tanya beliau yang akhirnya dijawab sendiri.
"Kalau kamu masih terganggu, maka itu normal sebagai manusia. Namun kalau kami melihat orang papa itu sebagai orang yang layak ditolong, berarti kamu ada rasa welas asih, salah satu sifat Tuhan, "imbuhnya.
Lantas, oom Busye memberi tahu lebih detail. "Coba sekali tempo pengemis itu kamu beri seratus ribu, atau lebih... niscaya dunia seisinya akan diberikan kepadamu. Dia akan berdoa agar rezekimu lancar, dibalas berlipat, dan sehat selamat dikaruniakan kepadamu."
Nasehat ini saya praktekkan ketika saya di Perancis. Barokahnya, selain anak saya masuk dalam program student exchange di Eropa, juga saya mendapatkan sponsor, pada stautu waktu setelah saya pulang dari Perancis, sehingga bisa berkeliling ke Belanda, Jerman, Belgia, dan bisa lagi ke Perancis.
Kalau anda mulai kenal siapa itu Gus Baha, KH Bahaudin Nursalim, beliau di tahun 2020 ini menasehati, bahwa cobalah kita sekali-kali membuktikan kerinduan kita kepada Tuhan. Caranya, dengan bersedekah dengan nilai 1 juta, 2 juta, atau lebih, dan masukkan ke kotak amal tanpa diketahui oleh orang lain. Atau ditransfer ke lembaga sosial dan lupakan. Niscaya, langit akan mencatat dan mengenal kita, meski bumi tidak mengetahui.
***
Pangkalan Bun suatu ketika. Daerah kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Periode tahun sekitar 2008/2010. Seorang local leader. Saya sangat terinspirasi dengan beliau, meskipun belum bisa meniru persis apa yang beliau lakukan.
Beliau ini, sangat perhatian kepada rakyat kecil. Jika ada taziah, ada orang yang meninggal dunia. Pasti, beliau akan hadir melayat. Meskipun itu orang yang secara personal tidak dikenalnya.
Beliau, dan istri, akan datang taziah, dan menyampaikan ucapan bela sungkawa. Tentu, dengan bantuan sewajarnya. Orang yang sedang berduka, akan mendapatkan penghiburan dengan bentuk perhatian seperti itu.
Demikian halnya jika ada orang kecil yang punya hajatan. Mantenan. Atau walimahan. Dengan, atau tanpa diundang, beliau akan hadir dan memberikan ucapan selamat kepada keluarga penganten.
Biasanya tuan rumah akan kaget sedikit, karena tidak mengira didatangi pimpinan daerah yang jarak sosialnya sebenarnya relatif jauh. Lantas, mereka akan bahagia, karena kedatangan itu menjadi penghiburan bagi keluarga penganten.
Bentuk doa yang tulus, datang langsung bahkan, adalah perhatian yang sangat menyentuh.
Apakah ini ada aroma politis?
Saya sendiri tidak ingin berburuk sangka. Karena banyak pimpinan politik, namun tidak paham dan tidak mengerti bagaimana berdekat-dekat dengan rakyatnya. Pimpinan di Kotawaringin tersebut, menggugah saya bahwa demikian lah seharusnya seorang pemimpin. Mendekat, dan peduli terhadap rakyatnya.
***
Jacob Oetama
Jakarta suatu ketika. Ada perhelatan sebuah media yang sangat besar.
Saya masih ingat, sangat ingat. Ada event di mana pimpinan media tersebut memberikan hadiah kepada para loper koran. Bahkan, diundang ke acara pesta ulang tahun media tersebut. Bahkan, dipanggil ke panggung, diberi hadiah, dan diajak foto bersama. Foto dicetak, dipigura, dan diberikan kepada para loper koran tersebut.
Dapatkah kita membayangkan, bos besar merangkul "anak buah", yang secara sosial betul-betul jauh dan tidak mungkin dekat? Bagaiman bisa dekat, sedangkan bos di Jakarta, para loper itu ada di jalanan, jau di daerah, dan tempat lain yang jauh dari kantor big bos tersebut.
Majalah Intisari, edisi Oktober 2020. Halaman 19. Sosok big bos yang saya monitor sangat lama, saya pelajari profilnya, perjuangannya, tampak dinarasikan sebagai berikut:
"Tidak jarang, beliau pergi menyambangi rumah karyawannya, untuk melihat kondisi kehidupannya."
Pak Jacob Oetama, ijinkan saya mengkisahkan ini di kompasiana ini. Bapaklah big bos yang tahu bagaimana membesarkan hati para karyawan. Bahkan, karyawan yang tidak dapat membayangkan bahwa perhatian itu akan sebesar itu.
Semoga Bapak di alam kelanggengan, mendapatkan hadiah dari Tuhan, sebagaimana selama ini Bapak welas asih kepada sesama manusia.
Home visit, itu adalah nama formal kegiatan menyambangi karyawan. Alhamdulillah, saya juga pernah melakukan.
Namun tidak seintensif atau sebesar daya dari Pak Jacob Oetama. Namun, inspirasi ini kiranya dapat disebarluaskan, agar sesama manusia saling membesarkan hati. Peduli dan saling welas asih.
***
Flash back pada tahun sekitar 1996/1997. Ketika awal mula saya menapakkan di Jakarta. Naik kereta api. Sumpeg ekonomi. Tidak dapat istirahat, terkantuk di tengah pekak suara mesin kereta.
Hingga kereta sampai di Jatinegara. Bangku banyak yang kosong. Penumpang banyak yang turun. Saya kegirangan menjumpai bangku/kursi kosong. Tas saya ambil. Saya angkat ke bagasi di atas kursi. Badan saya rebahkan. Mak lapp... terkantuk seketika. Dan ketika mata terbuka, tampak bagasi kosong di atas saya.
Waduhhhhh... di mana tas saya ?
Saya panik lari dari gerbong satu ke gerbong lain. Penumpang lain cuek, sibuk dengan diri sendiri. Tas beserta seisinya: sarung, soft drink, kamera tangan, kue, baju ganti, dan sajadah, hilang semua.
Padahal hari itu saya mau wawancara kerja, dengan perlengkapan di tas tersebut. Singkat cerita, saya ditolong keluarga di Rawamangun. Namun, dada masih bergemuruh, marah dan mengutuk si pencuri tas saya.
Sambil saya bayangkan, hari itu si pencuri sedang lenyeh-lenyeh dengan sarung saya,, minum soft drink saya, duduk di atas sajadah saya, dan main kamera saya. GRrggrggghhhh... muntap saya karena semua itu juga saya beli dengan honor menulis yang saya kumpulkan selama ini.
Lhaaa.. ketika saya bercerita dengan seorang teman baru di Pulo Gadung, komentarnya bikin saya shock dan tercenung.
"Sudah, diikhlaskan saja... ntar juga dapat pengganti yang lebih baik. Atau, jangan-jangan kamu tidak pernah atau jarang sadaqah ya Nug.. hingga barangmu hilang semua..."ujarnya tanpa bermaksud mengecilkan hati saya.
Say batin, jangan-jangan iya. Saya kurang beramal. Kurang sedekah. Sehingga ada gangguan dalam perjalanan saya itu.
Saya belajar banyak tentang ini.
****
Demikian kisah sekilas di malam jumat penuh berkat ini. Terima kasih inspirasi dari alm oom Motinggo Busye, alm Bapak Jacob Oetama, dan pimpinan di Kotawaringin yang pernah sangat menginspirasi.
Dengan tujuan saling berbagi kebaikan, kisah ini saya bagi kepada anda. Mari kita berlomba dalam kebaikan, semoga kehidupan semakin baik dan sejahtera untuk setiap insan manusia. (05/11/2020-NDP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H