Ayah dan anak perempuan, selalu menjadi perbincangan. Bahkan ada sibling rivalry, yakni persaingan antar saudara kandung. Anak laki-laki, berebut perhatian dengan saudaranya. Terutama, dengan saudara perempuan. Jika dekat dengan sosok ibu dianggap biasa, maka dekat dengan ayah adalah istimewa.
"Ayah selalu punya kejutan untukku, "kata Irene, anakku ketika itu. He he he ... terkesan memuji diri sendiri ya.... Ya, memang saya sering bermain petak umpet dengan anak perempuanku itu. Ian, kakaknya, sering cemburu.
"Mian jugaaa.. mian juga....", teriaknya ketika saya membopong Irene, dan melemparkannya ke kasur busa. Tubuh mungil Irene terhempas di kasur. Lantas teriakan girang, meluncur dari mulut mungil anak cantikku.
"Mian juga ayahhhh... ayahh.. mian juga pinginnn....," kata Ian, kakaknya.
Ya, terpaksa kadang saya sebagai ayah, juga membopong dia dan saya lempar ke kasur. Namun, agak berat di tangan. Hehehe... memang berat badan anak laki-laki, lebih dibandingkan anak perempuan. Ya karena juga usia lebih tua ya...
***
Mengapa saya dulu memperlakukan anak-anak seperti itu?
Sekarang, jelas tidak mungkin. Mian - panggilan dia as kecil karena belum bisa memanggil sebutan Mas Ian/panggilan kami ke dia - , searang sudah mahasiswa semester 3 di UI Depok. Adikknya, Irene, sudah kelas 2 di SMA lumayan favorit di Yogyakarta. Pandemik covid, memaksa Mian juga kumpul kembali ke Yogya. Distance learning Jogja - Depok Jakarta.
Saya sekarang tidak lagi bisa bermain-main bebas dengan anak-anak. Mereka sudah sibuk dengan laptop. Sibuk dengan sekolah online. Juga rapat-rapat dengan teman-temannya by online. Bahkan, saya coba telpon atau whatsap, kadang tidak diangkat.
"Adek belajar dengan teman-teman ini ayahhhh..., "kata Irene, yang sering kami panggil Adek, dan dia pun kalau bercakap memanggil dirinya dengan Adek, bukan 'aku".