Tanggal 22 Oktober yang lalu diperingati sebagai Hari Santri. Saya tidak akan berkisah mengenai ini. Namun seputar tradisi yang masih hidup saat ini. Terkait kehidupan santri, dan bahkan, abangan.
Alkisah tetangga saya ada yang wafat. Jika di Kristen barangkali ada Misa Kematian, maka di Islam, sebagian, ada yang mengadakan majelis tahlilan. Sebagian muslim tidak menyetujui terhadap tradisi tahlilan ini.
Ya, ini debat sejak lama. Dan sering tidak berujung. Masing-masing punya argumen sendiri. Majelis tahlilan ini digunakan oleh keluarga yang sedang berduka, sebagai cara untuk mengirim doa. Pembacaan surat Yasin, salawat Nabi, surat-surat lain dalam Al Quran, dan doa untuk almarhum/almarhumah.
Pada tahun 2020 ini, ternyata tradisi itu masih hidup dan lestari. Pada tahun 1995 ketika ayah saya wafat di desa kawasan selatan Yogyakarta, juga ada majelis tahlilan ini dari 7 hari, 40 hari, 1 tahun, hingga 1000 hari sebagai pungkasan acara majelis tahlilan.
Di luar konteks ini ada yang mengatakan bid'ah, karena Rasulullah Muhammad tidak mengajarkan ini, saya ingin bercerita hikmah di balik majelis tahlilan ini.
(1) Belajar mengucapkan dzikir
Tidak selalu muslim di negara kita itu muslim yang paham dan mengerti tentang agama. Belum tentu juga shalat. Belum tentu juga bisa mengaji. Maka majelis tahlil ini sejatinya tradisi para wali songo doeloe, untuk mengajarkan kalimat tahlil bagi masyarakat.
Setiap kata dzikir, dibaca pelan, berulang, keras, berulang, dan terus menerus. Otomatis warga yang barangkali belum bisa mengaji, jadi mengerti. Bahkan hapal.
Maka majelis tahlil ini bermanfaat bagi muslim abangan, untuk lebih mengenal agamanya. Utamanya, tradisi berdzikirnya.
(2) Memasukkan kalimat tauhid dari mulut ke hati