Sesungguhnya tahlil itu adalah tauhid. Laailahaillallah. Tidak ada tuhan selain Allah. Kalimat dasar yang menjadi bunyi utama dalam majelis tahlil. Perulangan yang banyak, menyebabkan sebuah proses tauhid itu masuk dari mulut ke hati.
Bagi yang menghayati,dapat mrebes mili, ingat almarhum/almarhumah,ingat bagaimana jika kita yang mati, dan permenungan spontan lainnya. Meski demikian, sebagian ada juga yang terkantuk kantuk tanpa keluar bunyi dzikir dari mulutnya.
(3) Penghiburan bagi keluarga
Saya termasuk yang sempat menentang tradisi tahlilan ini. Bukan ekstreem menentang sih..., namun ikut pendapat yang tidak membolehkan. Namun ketika ayah saya wafat, warga desa berkerumun dan tetap menggelar tahlilan.
Ibu saya (sekarang juga almarhum), karena juga merasa kehilangan ayah, ingin mengirim doa, akhirnya menggelar acara tersebut. Saya juga larut dalam tahlilan. Lebih banyak dzikir, sambil ingat almarhum ayah yang baru saja wafat ketika itu.
Majelis tahlil digelar 7 malam berturut turut. Biaya yang keluar hanyalah perjamuan biasa, yang wajar sebagaimana ada acara mengundang tetangga. Ketika malam ke 8, tahlilan selesei. Tidak ada lagi. Menunggu hari ke 40, dan seterusnya.
Malam ke-8, barulah saya merasa manfaat tahlilan itu. Ayah yang wafat, beru terasa hilang ketika majelis tahlil selesei. Rumah terasa sepi. Sunyi. Dan hati menyayat, ingin bertemu ayah yang baru saja menghadap Ilahi Rabbi.
AKhirnya saya tahu. Sebenarnya majelis tahlil itu, ditujukan untuk penghiburan bagi keluarga. Untuk menemani masa transisi berduka cita.
(4) Sosialisasi warga di era pandemik ini
Gresik bulan Oktober 2020. Majelis tahlil digelar di kompleks perumahan saya. Saya jadi terkenang ketika ayah saya wafat di tahun 1995. Irama zikir kurang lebih sama. Saya tahu manfaat dan tujuan majelis itu.