(2) tertantang untuk formal s3
Sebagian orang mungkin memang jalur sekolah sekolah dan sekolah. Namun saya sendiri tidak diwajibkan oleh kantor untuk S3. Hanya seperti sebuah naluri primitif, bahwa gunung studi yang harus didaki adalah s1, s2, s3. Juga, saya pernah membantu beberapa orang dalam pembuatan makalah ketika beliau beliau sekolah di S3. Sehingga, saya berpikir, mengapa tidak sekalian juga saya sekolah S3 ?
Jadi, meniru niru nih ? Tanya anda mungkin ya..
Betul, inspirasi kadang karena meniru.
Dan akibatnya saya merasakan dengan sangat dahsyat. Sekolah S3 di satu tempat, sampai berjalan banyak tahun namun sempat cuti akademik pengajuan 2 semester, pengalaman tersiksa saya rasakan. Siksaan yang kurindukan hehehe... Harus bersyukur kan, tersiksa namun akhirnya lulus juga.
Siksaan itu, misalnya; start sekolah s3 saya menjabat X, di tahun tertentu menjadi X2, di tahun berikutnya saya promosi menjadi X3, hingga akhirnya ditarik ke kantor pusat lagi menjadi X4, akhirnya ditugaskan sebagai pimpinan sekolah tinggi menjadi X5. Selama studi, saya menjalani promosi berpindah di 5 tempat, termasuk ke Banjarmasin tidak kurang dari 1,5 tahun.
Sebenarnya bukan siksaan, sekarang menjadi kenikmatan. Wes rampung sudah sekolah, tinggal menekuni pekerjaan kembali.
(3) mengemban amanah
Sekarang tinggal meneruskan amanah. Dampak dari sekolah, karir saya seakan berbelok dari senior vice presiden di bidang human capital, direktur operasional pada anak perusahaan, menjadi pimpinan di sekolah tinggi. Apakah ini baik? Alhamdulillah, baik baik saja. Apakah ini berarti semangkin sejahtera? Wah, ini bisa diskas banyak tentang remunerasi. Namun secara spiritual, semua sudah ditetapkan oleh Hyang Maha Tinggi.
Justru saya sering tersedak. Melihat kenyataan lain. Bahwa ternyata tingkat kesejahteraan para dosen masih perlu untuk diperjuangkan. Demikian halnya untuk pengembangan akademik, dan non akademik. Masih banyak pekerjaan rumah di dunia kampus pendidikan tinggi.