Dipikir-pikir Malmo ini mirip sekali dengan Yogya. Bedanya, Malmo lebih maju, banyak tumbuhan dan taman kota yang segar di musim panas, dan cenderung sepi senyap di musim dingin. Jangan dibandingkan dengan Jakarta yang lebih metropolitan.
Sekitar 21 ribu mahasiswa internasional sedang menuntut ilmu di Malmo, dan mereka berbicara tidak kurang dalam 100 bahasa ibu. Ada asal Kamerun, Iran, Mesir. Lithuania, Korea, Jepang, Kongo, Yunani. Malaysia, Vietnam dan banyak lagi. Komunikasi antar mahasiswa antar negara tentu saja dalam, bahasa Inggris, namun untuk percakapan harian dengan penduduk setempat kadang menggunakan bahasa Swedish.
Di Malmo ini bila kita naik bis kita bisa mendengar para pelajar berbicara dengan teman senegaranya dalam bahasa ibu mereka yang kadang-kadang aneh terdengar di telinga. Tampang dan warna kulit mereka juga aneka rupa. Ada yang hitam legam, coklat, sawo matang, putih dan kuning.
Saat pertama tiba di Malmo yang bikin saya kaget adalah iklimnya. Di musim dingin seperti Januari, suasana betul-betul dingin dan beku. Suhu terendah di bulan Januari yakni minus 13,5 derajat celcius. Bisa dibayangkan dinginnya, sampai air di celah jalan membeku menjadi es, dan hampir tiap orang memakai baju rangkap tiga plus jaket, sarung tangan, topi hangat. Walhasil, kita jalan biasa, tetapi atribut pakaian seperti mau mendaki gunung. Matahari terbit bisa jam 8 pagi, dan tenggelam pada jam 16.00 jadi pukul 17.25 sudah masuk waktu Isya.
Hari terasa sangat pendek, meskipun jam kerja tetap berkisar 09.00 - 17.00. Di musim panas suhu maksimum pada bulan Agustus sebesar 30,4 derajat celcius. Di bulan April - Mei, suhu rata-rata 6 -14 derajat celcius, matahari kadang nongol kadang mendung, sehingga udara hangat dan dingin silih berganti dingin. Bila angin bertiup, mula-mula terasa sejuk, lama-kelamaan berubah menjadi dingin yang menusuk kulit. Matahari bisa terbit jam 04.00 dan tenggelam jam 22.00. Jadi siang terasa sangat panjang.
BERTEMU PENGAGUM INDONESIA
Namanya juga orang Indonesia, meskipun sampai di Eropa ya rasa kangen itu muncul kuat, terutama pada apapun yang berbau tanah air. Untungnya ada wadah untuk menumpahkan kerinduan seperti komunitas SIS (Swedish Indonesia Society), sebuah organisasi nirlaba yang eksis di Malmo. Para ibu-ibu anggota SIS suka ngobrol lewat milis tentang berbagai hal. Salah satunya mereka saling bertukar informasi tentang masakan. Ada yang menanyakan resep membuat soto, atau yang lainnya minta diberitahu dimana bisa mendapatkan ikan asin.
SIS ini juga rajin mengadakan acara-acara sosial semacam arisan bulanan, piknik bersama, pentas seni Indonesia, dan acara sejenis yang dimaksudkan untuk persaudaraan dan pencitraan Indonesia di Swedia.
Saat ini SIS dikomandani Ibu Nuraeni Leosson (WNI yang menikah dengan Swedish), dan wakilnya adalah Bapak Stefan Danerek (Swedish yang beristerikan WNI). Beberapa kali anggota SIS aktif dalam Art Performance, seperti Festival Budaya (Culture Festival) di Malmo, Stockholm, dan Huga di Lund, kota kecil yang berdekatan dengan Malmo.
Saya juga bertemu dengan keluarga Ibu Nina Naphtarina (WNI yang bersuamikan Swedish, yakni Bapak Hannson). Rupanya Ibu Nina yang mantan jurnalis di Jakarta ini juga hobi menyimak berbagai media massa Indonesia online, maka begitu saya bawa satu eksemplar majalah SARTIKA, beliau antusias membacanya meskipun edisi lawas.
"Saya suka baca berita Indonesia. Dinamika politiknya menarik untuk diikuti,"katanya yang diamini oleh sang suami. Pak Hannson yang asli Swedia ini malahan pengagum Gus Dur.