Mohon tunggu...
Nugroho Budianggoro
Nugroho Budianggoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nadidata.com

analisis data | machine learning | transportasi publik | biodiversitas | nadidata.com | transportumum.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Nenek Moyangku Seorang Koruptor": Analisis Respons Netizen Soal Korupsi di Era Daendels

10 Februari 2021   12:00 Diperbarui: 10 Februari 2021   12:12 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Orudata.web.id
Sumber: Orudata.web.id

Di antara twit-twit respons terhadap twit korupsi era Daendels di dalam studi ini, hanya satu twit yang memiliki jumlah retweet lebih dari 10. Tiga belas twit selain 6 twit di atas memiliki jumlah retweet 1. Sementara twit lainnya tidak memiliki retweet sama sekali. Berikut adalah 6 twit paling populer dari twit-twit respons tersebut:

Sumber: Orudata.web.id
Sumber: Orudata.web.id

Sumber: Orudata.web.id
Sumber: Orudata.web.id

Respons terhadap korupsi di era Daendels menunjukkan munculnya kesadaran bahwa korupsi adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Ada sisi lain di dalam sejarah bangsa kita serta di dalam pengajaran sejarah di sekolah. Pada beberapa twit respons ada gagasan-gagasan informatif, yaitu bahwa kerja paksa itu menyengsarakan rakyat bukan karena rakyat pekerja tidak digaji melainkan karena menjalankan beban kerja yang tidak manusiawi. Selain itu ada twit informatif tentang Daendels yang juga melakukan korupsi dengan cara meminta upeti kepada rakyat atau kesultanan Yogyakarta waktu itu. Gagasan-gagasan di atas mendukung persepsi bahwa korupsi adalah suatu realitas hidup di dalam sejarah kita, yang kita juga temukan di masa kini.

Dalam analisis kami, salah satu respons netizen adalah gagasan 'nenek moyangku seorang koruptor'. Akan tetapi, jika dipertimbangkan lebih lanjut, gagasan 'nenek moyangku seorang koruptor' itu kurang tepat. Karena, kalaupun para bupati atau pemimpin daerah di masa lalu itu melakukan korupsi, istilah 'koruptor' itu melekat untuk para pemimpin daerah waktu itu saja. Sementara, para pemimpin daerah itu jumlahnya hanya sedikit dibandingkan dengan masyarakat biasa. Nenek moyang kita yangn adalah warga biasa sekarang ini kemungkinan besar adalah warga biasa juga di masa lalu. Dan warga biasa di masa lalu dapat dikatakan sebagai korban korupsi para pemimpin daerah mereka. Bahkan, alih-alih para bupati, nenek moyang kita lebih mungkin adalah salah satu dari pekerja 'kerja paksa' proyek jalan Anyer -- Panarukan. Ini karena jumlah para pekerja tersebut pasti lebih banyak daripada jumlah para pemimpin daerah yang diduga melakukan korupsi. Jadi, gagasan yang lebih tepat adalah 'nenek moyangku adalah korban korupsi'.

Dataset twit yang dipakai pada studi ini dapat dilihat di sini.

Sumber foto ilustrasi: Dikaseva di Unsplash.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun