Pesatnya perkembangan teknologi serta cepatnya arus informasi memudahkan masyarakat dalam melakukan apapun. Dengan hanya dirumah saja, kini setiap orang dapat melakukan sebagian besar aktivitas secara online mulai dari berinteraksi di media sosial, bekerja (work from home), hingga belanja online.
Kemudahan ini membuat orang-orang dapat beraktivitas secara efektif dan efisien. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian masyarakat di dunia maya saat ini adalah munculnya e-commerce, sebuah marketplace  yang menghadirkan fasilitas interaksi antara penjual dan pembeli, dengan memasarkan produknya secara online dan sarana bagi calon konsumen untuk membeli serta bertransaksi secara online.
Pertumbuhan e-commerce di Indonesia meningkat setiap tahun. Hal ini disusul oleh jumlah pengguna atau konsumen yang juga terus bertambah terlebih di saat Pandemi Covid-19. Dilansir dari circlo.com, pada tahun 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia yang berbelanja online sebesar 88 persen telah membeli produk online. Aktivitas manusia yang terbatas menjadikan belanja online sebagai pilihan terbaik agar dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.
Fenomena belanja online seolah sudah menjadi budaya dan gaya hidup masyarakat masa kini di tengah arus digitalilasi. Berbagai kemudahan dan keuntungan yang memanjakan mata dan selera membuat rasa tertarik tak terhindarkan untuk memilih berbelanja.Â
Tak jarang, pilihan yang diambil hanya sekedar "lapar mata" atas pengaruh tren yang turut menghiasi kehidupan dan memengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Belanja online bukan hanya sekedar atas motif dalam pemenuhan kebutuhan.Â
Pengaruh seperti ini menjadi perhatian kita apa sebenarnya motif masyarakat dalam berbelanja online. Arus informasi yang cepat serta wawasan seakan-akan menambah ruang sudut pandang bagi pikiran kita, ruang lingkup sosial yang semakin kompleks pun ikut memengaruhi terhadap keputusan dan tindakan kita.
Motif masyarakat dalam berbelanja online sangat beragam, mulai dari biaya yang rendah, kenyamanan berbelanja (dapat diakses kapanpun dan dimanapun) yang ditawarkan, barang-barang yang sangat bervariasi sehingga mudah dalam memilih barang yang akan dibeli.Â
Tak hanya motif dari segi aksesibilitas saja yang jadi pilihan masyarakat dalam berbelanja, namun ada saja pengaruh motif sosial yang membuat seseorang terdorong untuk melakukan belanja secara online. Dari aspek usia, dilansir dari Kompas.com, hasil riset Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC), menunjukkan dua generasi (Generasi Milenial dan Generasi Z) menjadi penyumbang tertinggi transaksi e-commerce yakni 85 persen.Â
Menurut Direktur Riset Katadata Insight Center (KIC), Mulya Amri, 36 persen transaksi e-commerce disumbang oleh konsumen dengan usia 18-25 tahun, 49 persen disumbang oleh kosumen usia 26-35 tahun, 13 persen oleh usia 36-45 tahun, 2 persen oleh usia 46-55 tahun dan 0,2 persen oleh usia di atas 55 tahun. Produk fashion masih menjadi kategori barang terpopuler dengan komposisi 30 persen dari total transaksi sepanjang 2019.
Data tersebut menunjukkan beragamnya kategori pilihan dalam berbelanja online berdasarkan usia. Generasi Milenial dan Generasi Z sebagai generasi yang terlahir dan hidup di tengah majunya teknologi dan informasi, tidak terlepas dari adanya peran dan pengaruh dalam menciptakan realitas.Â
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Misalnya pada iklan Shopee, gambaran mengenai Hari Belanja Online Nasional (HARBOLNAS), super sale dan gratis ongkir, ini adalah realitas yang dibangun oleh iklan dalam suatu media (televisi atau digital) untuk menjelaskan menariknya suatu produk, sehingga pemirsa (calon konsumen) sampai kepada kesimpulannya terhadap produk tersebut, bahwa jika ia membeli di Shopee akan mendapat keuntungan dari segi harga dan kepuasan.
Masyarakat maya sebagai revolusi terhadap sebuah perubahan masyarakat nyata, manusia tak pernah puas hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang yang sempit. Sosial media bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi Generasi Milenial dan Z saat ini, akses interaksi dan sumber informasi yang ada di dalamnya muncul atas realitas sosial.Â
Fenomena tren fashion yang berkembang di sosial media misalnya, juga berpengaruh pada motif seseorang untuk belanja online. E-commerce lagi-lagi tak mau melewatkan kesempatan ini, melalui gandengan dengan pihak terkait dalam hal ini adalah perusahaan, produsen, hingga influencer, pasar yang telah dibangun membawa masyarakat pada pengaruh dari informasi apa yang ia konsumsi. Sehingga, jelaslah fenomena belanja online saat ini bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan, namun sudah menjadi gaya hidup dan budaya yang mungkin atas motif tren tertentu atau sekedar "iseng" saja.
Motif-motif diatas memberikan pertanyaan kepada kita, apakah kita telah terpengaruh atas peran media dan lingkungan sekitar dalam menciptakan realitas ? Seperti pada teori tindakan yang beralasan, dikatakan sebagai perluasan cakupan dari teori nilai ekspektasi dengan menambahkan faktor intensi. Secara spesifik, intensi dari perilaku tertentu ditentukan oleh sikap seseorang terhadap perilaku dan kumpulan keyakinan tentang bagaimana orang lain ingin kita berperilaku.Â
Contohnya, apakah kita akan memilih belanja online sesuai kebutuhan atau akan belanja online sesuai keinginan yang tidak begitu penting untuk dibeli? Jawaban ini bergantung pada sikap kita terhadap kebutuhan dan apa yang orang lain pikirkan, seperti teman, tentang yang seharusnya anda putuskan. Setiap faktor-sikap kita dan opini orang lain diberi bobot menurut kepentingannya. Terkadang, sikap kita adalah penting. Namun terkadang, opini orang lain adalah yang terpenting.Â
Menurut teori tindakan yang beralasan, intensi kita terhadap teman dapat diprediksi dengan melihat sikap kita terhadap perilaku dan sikap teman kita terhadapnya. Rumus ini memprediksikan intensi dari perilaku kita, tetapi tidak secara utuh memperkirakan perilaku sebenarnya. Ini karena kita tidak selalu berperilaku berdasarkan intensi orang lain.Â
Misalnya, belanja online yang barangnya tidak begitu penting atau dibutuhkan saat ini, namun ia tetap memilih untuk belanja barang tersebut karena adanya ketergantungan atau pengaruh yang membuat ia beli, seperti aksesoris komputer atau gawai dimana barang tersebut sudah menjadi barang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya, atau harga produk yang ditawarkan murah sehingga ia menganggap kesempatan ini adalah langka dan tidak boleh dilewatkan.
Motif-motif tersebut tentu menimbulkan dampak yang sangat terlihat bagi masyarakat yang hidup di era digital saat ini. Perilaku konsumtif adalah salah satu dampak yang sangat berpengaruh pada budaya masyarakat saat ini, percepatan igitalisasi dan perputaran ekonomi yang semakin luas, fenomena seperti ini mungkin adalah proses sebab akibat yang kita konstruksi dalam kehidupan sosial. Masyarakat digital yang bergantung akan teknologi dan haus informasi adalah sebagian wujud perubahan sosial yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
REFERENSI
Bungin, B. M. (2006). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss.2009. Teori Komunikasi, edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika
Dedy Ansari Harahap. Dita Amanah (2018) Perilaku Belanja Online di Indonesia: Studi Kasus. http://journal.unj.ac.id
Sabila Hanifan UlaAzizah. Agustinus C Februadi (2019) Motivasi Belanja Fesyen Online: Perspektif Generasi Y Wanita. https://jurnal.polban.ac.id
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H