Sang lelaki tua dan isterinya yang setia kini mendiami rumah megah yang lengkap sarana dan prasarananya.
Tetapi mereka malah merindukan rumah mereka yang dulu kala.
Dulu rumah mereka sangat sederhana. Hanya berlantaikan semen seadanya. Dindingnya pun hanya batubata tanpa dipoles semen dan cat berwarna. Maklum sang lelaki masih jadi pegawai rendahan saja. Tapi suasananya sangat hangat dan menentramkan jiwa. Anak-anak masih keci-kecil dan senang bermanja-manja. Memang sering pula ada pertengkaran di antara mereka. Tapi itu biasa.
Seiring waktu, sang lelaki mencoba berwirausaha. Usahanya ternyata berhasil juga. Lalu ia membangun rimah secara swadaya. Tanpa bantuan pemerintah ataupun dari mana saja.
Namun waktu juga yang akhirnya memisahkan mereka dari anak-anak mereka. Anak-anak tumbuh menjadi dewasa. Berkeluarga dan punya kehidupan sendiri pula.Â
Lalu rumah megah itu kini hanya dihuni berdua. Sepi dan dingin terasa. Memang anak dan cucu berkunjung tapi hanya pada hari-hari raya.
Tapi mereka tak bisa melawan itu karena itu hukum keniscayaan waktu dan masa. Hanya doa yang dipanjatkan oleh mereka senantiasa. Agar anak dan cucu nun jauh di sana selalu bahagia. Dan mereka juga berdoa jika tiba saatnya meninggalkan dunia, diberi keikhlasan dan jalan lapang ke surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H