Sang gadis berjalan di rerumputan menuju danau di suatu pagi.
Di rerumputan yang ia lalui tak sengaja disentuhnya bunga putri malu dengan kaki. Sang bunga putri malu seketika mengatupkan daun dan bunganya bagai mati. Tetapi setelah sang gadis pergi bunga dan daunnya mekar kembali.
Setiba di pinggir danau sang gadis melihat bunga teratai. Teratai indah mekar putih berseri. Sang teratai bagai tak pernah mengeluh tumbuh akarnya di dasar danau yang berlumpur dan kotor sekali. Ia tetap setia mekar dan awet sekali untuk membagikan bahagia bagi setiap insan yang memandangi.
Sang gadis berefleksi antara dua puspa yang ia lewati dan nikmati. Hidupnya kini bagai bunga putri malu yang rapuh dan mudah patah hati. Tetapi sebenarnya ia ingin sebagai bunga teratai yang tangguh meski tumbuh di atas lumpur danau yang kotor dan tak bersih sama sekali. Teratai itu tetap kokoh, mekar berseri, dan membagikan indahnya setiap pagi.
Sang gadis menyadari perubahan itu hampir tak mungkin terjadi. Bak bunga maka untuk mekarpun harus butuh bantuan pupuk, insektisida, bahkan sentuhan tangan manusiawi.
Maka sang gadis  selalu  berdoa dan berharap mungkin ada lelaki yang akan membantunya berubah dan memperbaiki diri pada suatu hari nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H