Sungai-sungai di desa itu berubah warnanya jadi biru.
Tapi bukan biru langit yang menunjukkan udara bersih dan tanpa terganggu.
Bukan pula biru di laut yang menandakan laut jernih dan tersenyum malu.
Ini biru yang justru bagai benalu. Ikan-ikan kecil, udang air tawar, dan segala renik malah mati layu.
Ternyata ini adalah hasil polusi pabrik-pabrik di desa yang mengeluarkan limbah langsung dibuang tanpa diolah dan tanpa rikuh dan rasa malu.
Memang banyak pemuda bekerja di pabrik itu. Upahnya jauh lebih lumayan daripada harus bekerja keras mengolah lahan  pertanian yang membuat tulang-tulang ngilu.
Tapi itu harus dibayar dengan air sungai yang jadi biru yang membuat semua jadi layu. Biaya pemulihan jauh mungkin dari upah di pabrik itu. Belum lagi ancaman bagi generasi muda yang sakitnya tak terdeteksi lebih dahulu.
Mestinya penduduk desa itu tak cepat menerima pabrik-pabrik itu. Mestinya pertanian modern dan organik  yang dikembangkan dahulu. Harga produk pertanian organik juga jauh lebih tinggi dari jaman dahulu. Jika demikian maka antara kesejahteraan, kesehatan, dan kelestarian lungkungan bisa berjalan beriringan seperti harmonisasi nada dalam sebuah lagu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H