Sudah lama buku-buku milik lelaki itu teronggok berdebu di sudut kamarnya.
Pandemi dan digitalisasi membuat ia melupakan buku-buku yang dulu sebenarnya dibelinya dengan antusias meski uangnya terbatas.
Dunia digital membuat ia bisa mengakses apa saja tanpa harus membaca sendiri dari sumbernya.Â
Pandemi juga membuat orang tak bisa berinteraksi langsung muka dengan muka. Maka ke perpustakaan atau toko buku juga sebuah kemewahan.
Tapi tiba-tiba di malam itu, sang lelaki kembali ingin membuka-buka buku-buku yang teronggok seperti barang tak berguna. Sebagian adalah buku-buku teks lama ketika ia masih duduk di bangku kuliah.
Tetiba ia tertarik membuka sebuah buku teks tentang teori sumberdaya manusia. Ketika sedang membuka buku itu, ditemukannya sebuah surat yang ternyata ditulisnya sendiri. Surat itu sebenarnya ditujukan pada gadis seangkatan kuliahnya yang sebenarnya ia sangat menyukainya. Rencara surat itu akan diberikannya ketika akhir semester tiba.
Tapi surat itu urung dikirimkannya. Tak cukup keberanian dimiliki sang lelaki untuk menyampaikan suratnya. Sampai keduanya lulus sarjana. Kini sang gadis sudah menikah dan berbahagia membentuk sebuah keluarga. Sementara sang lelaki masih sendiri saja.
Ada perasaan nelangsa dan kecewa sang lelaki mengingat peristiwa tak terkirimnya surat yang dibuatnya. Tapi mungkin memang gadis itu bukan jodohnya.
Ditutupnya kembali buku beserta surat yang tak terkirim itu. Biarlah surat itu menjadi kenangan lama bersama buku-buku itu. Kembali pula lelaki itu asyik dengan gagdetnya. Membiarkan kembali buku- buku lama itu teronggok di sudut kamarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H