Semangkuk sup dan secangkir kopi sudah dihidangkan di depan sang lelaki dari warung sederhana di pinggir jalan sepi di suatu pagi hari.
Disantapnya sup dan diseruputnya kopi. Menambah semangat dan imaji tuk menulis puisi.
Ia melamun dan berpikir tentang apakah puisi yang akan ditulisnya nanti? Di  tengah lamunannya terungkap isi hati. Mengapa tak menulis saja tentang semangkok sup dan secangkir kopi?
Lahirlah puisi semangkuk sup dan secangkir kopi. Dua hal yang tak sama tetapi saling melengkapi. Bagai wanita dan lelaki. Berbeda dari berbagai sisi tapi saling mengisi. Tapi lelaki itu tiba-tiba bertanya dalam hatinya. Kalau Dia secangkir kopi, lalu siapakah semangkuk sup yang akan menemani? Sebab sampai kini ia masih sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H