Pertama; dampak psikologis dari masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Masyarakat kecil pasti merasa panik menghadapi kebijakan ini. Hal ini wajar karena kekayaan mereka, sebagian besar atau bahkan seluruhnya, berbentuk uang tunai. Mereka khawatir harta satu-satunya tersebut akan hilang seperti halnya kebijakan sanering pada 1965.
Kedua; kebijakan redenominasi akan mendorong kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut didorong oleh tindakan pengusaha yang membulatkan harga barangnya. Ilustrasinya adalah jika semula harga barang Rp 7.500 maka dalam harga baru setelah redenominasi mestinya adalah Rp 7,5.
Namun kemungkinan besar untuk mempermudah, atau bahkan memanfaatkan kesempatan yang ada, pengusaha akan memasang harga baru Rp 8. Hal ini tentu akan memicu inflasi. Pemerintah memang bisa melakukan tindakan pengawasan untuk menertibkan pengusaha nakal seperti itu tetapi biayanya sangat mahal dan membutuhkan banyak sekali tenaga kerja.
Ketiga; bagi pengusaha maka kebijakan redenominasi akan menambah biaya untuk mengganti daftar harga barang. Keempat; biaya untuk melakukan redenominasi tentu akan sangat besar. Biaya tersebut meliputi biaya sosialisasi, pengawasan, dan pencetakan uang baru, yang sangat besar. Hal ini lagi-lagi akan memicu tingkat inflasi.
Atas dasar dampak yang besar yang tidak bisa dianggap sepele tersebut maka saya termasuk yang tidak setuju dengan kebijakan redenominasi rupiah. Angka nominal rupiah yang terlalu besar sebenarnya menunjukkan belum optimalnya berbagai pihak (yaitu lembaga yang  sekarang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KKSK yaitu BI, OJK, LPS, Kementrian Keuangan dan juga Tim Pengendalian  Inflasi di Daerah atau TPID) untuk menjaga nilai rupiah, baik dalam arti daya belinya maupun nilai tukarnya.
Maka menurut saya lebih baik semua pihak seperti yang telah disebutkan bekerja sama menjaga agar nilai rupiah tetap terjaga daripada melakukan redenominasi rupiah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI