Meskipun kemudian ada yang menilai beberapa kebijakan untuk menangani dampak Covid19 saat ini justru mengembalikan mekanisme bail in kembali menjadi bail out lagi  misalnya dengan pemberian kewenangan kepada LPS bersama OJK untuk penanganan permasalahan likuiditas bank berupa penjualan/repo surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia (BI), penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal.
Ketiga, sudah ada lembaga-lembaga yang menyangga supaya perbankan dan lembaga keuangan yang lain tidak jatuh dan merugikan nasabahnya. Lembaga tersebut adalah OJK yang dibentuk berdasarkan UU Nomer 21 Tahun 2011 dan Lembaga Penjamin Simpanan yang dibentuk berdasarkan UU Nomer 24 Tahun 2004. Kedua lembaga tersebut belum ada ketika krisis tahun 1998.
Keberadaan OJK memungkinkan bank diawasi secara lebih ketat dan detil. Sementara keberadaan LPS bisa mencegah kerugian bagi deposan akibat ditutupnya sebuah bank dan juga bisa mencegah terjadinya kepanikan berupa penarikan dana besar-besaran dari bank yang bisa mengakibatkan kesulitan lebih besar bagi bank.
Keempat, sudah ada juga aturan-aturan di bidang perbankan yang mengarahkan bank untuk lebih hati-hati (prudent) dalam operasinya. Misalnya standar atau aturan bank berdasarkan Basel III yang harus ditaati. Dalam Basel III ukuran likuiditas bank adalah Liqudity Coverage Ratio (LCR) yaitu kemampuan bank untuk memenuhi kebutuhan atau kewajiban jangka pendeknya 30 hari ke depan. Rasio lain untuk menilai kesehatan bank dalam Basel III adalah Net Stable Funding ratio (NSFR) yang ditetapkan minimal 100 persen. NSFR ini menunjukkan kemampuan bank untuk mengcover asset stabil jangka panjangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H