Ada dua isu besar pada masa pemerintahan Jokowi-Maaruf di bidang ekonomi. Pertama, Presiden Jokowi masih tetap bersikukuh ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 7 persen. Meskipun dalam masa pemerintahannya yang pertama rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi berkisar di angka 5 persenan.
Isu yang kedua adalah soal pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam masa pemerintahannya yang kedua ini, Presiden Jokowi mengatakan akan berfokus pada pengembangan SDM setelah pada periode pertama sukses dengan pembangunan infrastruktur.
Keduanya sebenarnya bisa disatukan dalam sebuah kebijakan strategis. Maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi 7 persen bisa dicapai dengan mengandalkan SDM. Hanya saja memang dibutuhkan perubahan paradigma dan landasan pikir atau teoritik dari teori pertumbuhan ekonomi yang dipakai sebagai landasan kebijakan pemerintah.
Pendekatan Neo-Klasik
Selama ini, termasuk pada periode pertama pemerintahn Pak Jokowi, pendekatan atau paradigma atau teori pertumbuhan ekonomi yang dipakai adalah teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Inti model atau teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik adalah mengandalkan inestasi. Investasi tersebut akan digunakan untuk membiayai modal fisik seperti infrastruktur dan prasarana serta sarana lain yang swasta tidak tertarik membangun akan tetapi dampaknya sangat besar bagi perekonomian.
Darimanakah dana untuk investasi tersebut? Dalam model neo-klasik, dananya berasal dari tabungan serta sumber lain dari dalam negeri. Akan tetapi untuk Indonesia selalu ada kekurangan tabungan dan sumber dana dari dalam negeri yang bisa digunakan untuk investasi atau ada gap antara tabungan dan sumber dana dari dalam negeri dengan investasi atau Saving-Investment Gap (S-I Gap).
Lalu darimanakah gap atau celah itu ditutup? Ada beberapa alternatif yang berasal dari luar negeri. Pertama, dengan utang luar negeri. Utang luar negeri Indonesia secara kumulatif sampai Agustus 2019 mencapai Rp 5.569 trilyun. Namun utang ini masih dalam batas aman karena rasio terhadap PDB adalah 29,8 persen dari batas maksimum 60 persen. Akan tetapi memang utang luar negeri ini sumber yang bisa dipakai tetapi pada periode berikutnya akan menjadi beban karena harus mengembalikan bunga dan cicilan.
Alternatif kedua, dari investasi asing langsung atau Penanaman Modal Asing (PMA). Ada dua keuntungan dari sumber pendanaan untuk menutup gap tabungan-investasi yaitu: bisa sebagai sumber pendanaan tanpa nantinya harus mengembalikannya dan bisa sebagai sarana transfer atau pemindahan teknologi dari perusahaan negara-negara maju ke negara Indonesia.
Alternatif ketiga, dari investasi portofolio yaitu dari surat-surat berharga dan instrumen keuangan jangka pendek yang dibeli atau dimiliki asing. Akan tetapi ketergantungan terhadap dana portofolio asing inipun tidak sehat karena sifat dananya jangka pendek. Ada isu di bidang politik dan keamanan sedikit saja maka dana-dana ini akan lari ke luar Indonesia.
Namun landasan model atau teori neo-klasik ini hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tingkat 5 persen an. Padahal Pak Jokowi pada periode kedua pemerintahannya berambisi ingin pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen.
Pertumbuhan Endogen
Maka untuk ke depannya perlu diubah landasan kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi dari model atau teori neo-klasik ke teori pertumbuhan endogen. Beberda dengan teori neo-klasik yang menekankan pada pentingnya investasi uang dan modal fisik, maka model pertumbuhan ekonomi endogen yang dikemukakan oleh Romer (1986,1987, dan 1990) lebih menekankan pada pentingnya peran SDM dalam pertumbuhan ekonomi.
Mengapa SDM punya peran penting dalam pertumbuhan ekonomi? Pertama, SDM merupakan input atau "faktor produski" terpenting dalam sebuah perekonomian. Tanpa SDM, sumberdaya alam dan teknologi serta faktor produksi lain tak akan ada gunanya. Kedua, SDM juga bisa diperlakukan sebagai pasar produk barang dan jasa. Ketika perekonomian dunia yang merupakan pasar ekspor Indonesia lesu seperti sekarang ini maka pasar dalam negeri bisa sebagai alternatif.
Ketiga, seperti telah disinggung juga, alih teknologi atau efek luberan PMA (spillover) memang bisa terjadi dan lebih cepat kalau SDM yang ada di Indonesia berkualitas baik. Keempat, SDM merupakan faktor produksi yang tak terbatas kemampuan intelektualitasnya serta tak kenal usang seperti teknologi dan modal fisik.
Perkembangan teknologi digital dan industri kreatif yang tak dibatasi keterbatasan sumberdaya alam membuktikan bahwa lewat pengembangan SDM pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa dipacu sangat tinggi. Dengan berfokus pada peningkatan kualitas SDM maka mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi dari tingkat yang selama ini yaitu 5 persen an, bahkan mungkin bisa mencapai 7 persen.
Maka sudah tepat jika pemerintahan Jokowi di periode kedua menekankan pada peningkatan kualitas SDM. Pertama, lewat alokasi APBN ke program untuk peningkatan kualitas SDM. Dalam RAPBN 2019, dana pendidikan tetap dipertahankan 20 persen dengan kebaharuan pada penerbitan Kartu Indonesia Pintar Kuliah dan Kartu Pra Kerja. Di samping itu untuk peningkatan kualitas SDM dalam RAPBN 2019, sesuai UU Kesehatan Tahun 1996 5 persen dialokasikan untuk sektor kesehatan.
Di samping itu, sudah tepat pula pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan pajak antara 60 sampai 200 persen untuk perusahaan yang melakukan pendidikan vokasi serta melakukan riset dan pengembangan.
Catatan terakhir adalah hendaknya sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri seperti obligasi pemerintah makin ditingkatkan supaya lebih aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H