Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertanian dan Revolusi Industri 4.0

18 Januari 2019   10:05 Diperbarui: 18 Januari 2019   11:46 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sektor pertanian dalam arti luas -- yang meliputi sub sekter tanaman pangan, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan -- sampai saat ini masih memegang peran kunci dalam perekonomian Indonesia. Peran sebagai penyumbang nilai tambah produksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang kini tidak lagi nomor satu karena telah digantikan oleh sektor industri manufaktur. Pada tahun 2018 lalu sumbangan sektor pertanian terhadap PDB sebesar 13,33 persen, sementara sumbangan sektor industri manufaktur sebesar 19,90 persen.

Namun sumbangan terhadap hal-hal lain tetaplah besar. Beberapa sumbangan penting sektor pertanian, selain dalam hal produksi, dalam perekonomian Indonesia antara lain: penyedia lapangan pekerjaan (sampai saat ini masih menduduki peringkat pertama), penghasil devisa, penyedia input untuk sektor yang lain, penyangga ketahanan pangan, dan masih banyak lagi.

Namun banyak pihak yang kemudian mengkhawatirkan bahwa sektor pertanian akan makin tersingkir dengan perkembangan teknologi digital dan internet yang makin masif atau yang dikenal dengan terjadinya Revolusi Industri 4.0. Perkembangan teknologi seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, nanotechnology, pemanfaatan Big Data, dan 3D printing  yang menandai Revolusi Industri 4.0 sudah tak terhindarkan.  Pendapat tersebut ada benarnya sehingga memang pemerintah dan pelaku di sektor pertanian harus mengantisipasinya dan memandangnya sebagai peluang dan bukan ancaman.

Beberapa Pemanfaatan

Sektor pertanian bisa mulai memanfaatkan terjadinya Revolusi Industri 4.0. Yang paling sederhana adalah para pelaku usaha di sektor pertanian bisa mengakses berbagai informasi yang bisa mendukung perkembangan pertanian yang lebih modern, lebih efisien, dan dengan demikian lebih menyejahterakan bagi para pelaku di sektor pertanian. Selama ini perkembangan sektor pertanian di Indonesia mandeg (stagnan) karena tekonologi yang dipakai masih sederhana, hanya fokus pada tanaman pangan khususnya padi, luas lahan yang kian menyempit, dan harga yang diterima petani sangat rendah. Hal tersebut membuat kesejahteraan petani di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Di samping itu- di beberapa daerah -- justru pekerja atau petani berkurang karena para orang muda khususnya sudah tidak tertarik bekerja di sektor pertanian.

Para pelaku di sektor pertanian dapat memanfaatkan teknologi digital dan internet dengan mengakses berbagai informasi untuk mengatasi berbagai kendala yang telah disebutkan yang membuat kesejahteraan petani di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Untuk mengatasi kendala makin menyempitnya lahan pertanian dan sekaligus kekurangan tenaga manusia maka para petani di Indonesia bisa mengkakses dan mempraktekkan pertanian secara vertikal dalam ruangan (indoor vertical farming).

Tidak seperti bercocok tanam di lahan terbuka, indoor vertical farming tidak mengenal gagal panen karena cuaca, seperti hujan terus menerus. Perubahan iklim yang tidak menentu, juga bukan ancaman. Model pertanian indoor vertical farming ada beberapa pilihan seperti hidroponik, aquaponic, dan aeroponic. Saat ini, sebagian besar indoor vertical farming menggunakan kombinasi hidroponik dan cahaya buatan. Namun, beberapa metode indoor vertical farming seperti yang diterapkan di rumah kaca, dapat menggunakan kombinasi sumber daya alam dan buatan.

Negara dengan teknologi pertanian yang maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, telah giat mengerjakan indoor vertical farming dengan serius. Indoor vertical farming telah dijadikan sebagai pilihan pertama. Bahkan, kualitas produk yang dihasilkan lebih unggul dari hasil pertanian biasa. Namun bukan berarti indoor  vertical farming tidak memiliki kekurangan. Biaya indoor vertical farming sangat mahal. Selain itu, harus melibatkan teknologi, software dan hardware. Tetapi dengan semakin nyatanya Revolusi Industri 5.0 maka biaya-biaya ini akan makin murah. Suhu, kelembaban, hingga cahaya harus dikontrol dengan baik. Selain itu, indoor vertical farming juga dianggap menghasilkan CO2 lebih banyak daripada pertanian di sawah. Masalah terakhir ini yang membuat hingga sekarang indoor vertical farming masih dalam perdebatan.

Di Jepang usaha pertanian vertikal indoor telah memberikan hasil yang sangat sukses. Dengan lahan seluas sekitar 2.300 meter persegi dihasilkan 10.000 pucuk selada per hari. Hasil ini sekitar 10 kali lebih banyak per meter persegi dari cara tradisional, dengan daya 40% lebih sedikit, 80% lebih sedikit nutrisi, dan 99% lebih sedikit penggunaan air (karena tidak ada air yang terbuang terserap ke dalam tanah) dari pada di luar ruangan. Limbah pun nyaris tidak ada. Walaupun begitu, saat ini proses indoor vertical farming di Jepang masih "setengah otomatis". Beberapa pekerjaan memang telah dikerjakan oleh mesin, tapi untuk pekerjaan memetik masih dilakukan secara manual. Untuk ke depan, robot akan banyak mengambil alih pekerjaan manusia, seperti memanen, transplantasi bibit, dan mengangkut hasil panen. Selain pemakaian robot, lampu LED (Light Emitting Diode) yang diproduksi khusus --meniru sifat cahaya matahari- untuk keperluan indoor vertical farming, akan meningkatkan hasil panen indoor vertical farming. Siklus siang dan malam di lingkungan buatan ini dapat diperpendek sehingga tanaman tumbuh lebih cepat. Dengan cara ini, indoor vertical farming tidak lagi bergantung pada cahaya matahari. Variabel lain seperti suhu dan kelembaban dioptimalkan.

Pemanfaatan lain teknologi software maupun hardware hasil revolusi industri 4.0 bagi petani adalah untuk mengakses beberapa aplikasi digital. Sebenarnya 5 (lima) aplikasi digital ini sudah dilaunching oleh Presiden Jokowidodo pada Senin, 11 April 2016 bertempat di Sub Terminal Agribisnis (STA) Desa Larangan, Brebes, Jawa Tengah dalam Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat. Kelima aplikasi itu adalah Petani, TaniHub, LimaKilo, Pantau Harga, dan Nurbaya Initiative.

Aplikasi Petani bertujuan untuk memudahkan pertukaran informasi antara pakar pertanian dan petani. Ketika petani mengalami kesulitan dalam tanaman, bisa mengirimkan foto kondisi tanaman dan detailnya ke aplikasi, baru pakar menjawab permasalahan tersebut. Aplikasi juga seperti forum online untuk komunikasi antara petani. Aplikasi dapat digunakan pengguna untuk memberikan informasi hasil panen beserta harga dan menjual ke pembeli tanpa perantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun