Rupiah mengalami penguatan terus menerus. Meskipun kini masih berada di level Rp 14.800 an, tetapi level ini masih di bawah level psikologis yaitu Rp 15.000,-. Banyak pihak mengapresiasi penguatan rupiah terhadap dolar AS ini.
Tetapi, jangan senang dulu dan tetap harus waspada karena penguatan rupiah yang lebih disebabkan oleh faktor eksternal (luar negeri) dan faktor teknikal (faktor yang sifatnya sementara) dan bukan faktor fundamental.Â
Faktor eksternal dan teknikal yang membuat rupiah menguat terhadap dolar AS ada beberapa. Pertama, kemenangan Partai Demokrat di pemilu sela di AS. Ini membawa sentimen negatif bahwa Trump akan tidak bisa melanjutkan kebijakannya sehingga dolar AS melemah terhadap semua mata uang termasuk rupiah.
Kedua, penurunan harga minyak dunia jenis Brent dari posisi puncak 86 dollar AS menjadi 73 dollar AS per barel. Artinya, sebagai negara net importir minyak, Indonesia diuntungkan dengan penurunan biaya impor sehingga permintaan dolar AS sedikit menurun dan menyebabkan apresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Ketiga, belum diumumkannya rencana kenaikan suku bunga dolar AS oleh The Fed. Ini sementara bisa menahan paritas suku bunga antara suku bunga dolar AS dengan suku bunga rupiah. Menurut hitungan, selisih suku bunga tersebut masih menguntungkan orang untuk memegang rupiah daripada dolar AS.
Faktor eksternal dan teknikalpun ada yang bergerak ke arah berlawanan yaitu berpotensi memperlemah rupiah. Pertama, kesepakatan antara AS dan Tiongkok pada akhir November 2018 ini. Ini memberi sinyal bahwa perang dagang antara AS-Tiongkok akan segera berakhir. Kalau perang dagang berakhir maka bisa diperkirakan dolar AS akan menguat kembali atau dengan kata lain rupiah akan melemah.Â
Kedua, pada Desember dan awal tahun 2019 mungkin The Fed akan kembali menaikkan suku bunganya sehingga orang akan beralih kembali memegang dolar AS dan dolar AS akan menguat kembali atau dengan kata lain rupiah akan melemah.
Faktor Fundamental
Bagaimana dengan faktor fundamental di dalam negeri? Ternyata faktor mendasar dan yang berasal dari dalam negeri memang belum mendukung ke arah penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang lebih permanen.
Salah satunya adalah adanya defisit dalam neraca transaksi berjalan Indonesia. Defisit neraca transaski berjalan Indonesia sampai saat ini yaitu kuartal II-2018 mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar US$ 8 miliar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 1,96 persen dari PDB.Â
Defisit ini disebabkan impor baik migas maupun non migas yang lebih besar dari ekspor. Akibatnya dolar AS yang masuk lebih kecil dibanding yang ke luar atau penambahan persediaan dolar AS lebih kecil dibanding penambahan permintaan atau kebutuhannya.
Untuk mengatasi defisit transaksi berjalan ini memang tidak bisa dalam jangka pendek. Meskipun demikian kebijakan jangka pendek dan menengah yang dilakukan pemerintah antara lain: menaikan tarif PPh Pasal 22 terhadap 1.090 item barang impor menjadi sebesar 10% bagi yang memiliki NPWP dan 20% bagi yang belum memiliki NPWP.Â
Selanjutnya adalah pengenaan bea masuk flat sebesar 7,5% terhadap seluruh jenis barang impor yang masuk via saluran e-commerce. Berikutnya, pemberlakukan PPN atas impor 10% berlaku flat, serta pencampuran solar dengan 20% CPO atau dikenal dengan B20 tetap perlu terus dijalankan.
Di samping itu, kebijakan untuk jangka panjang seperti pembangunan industry substitusi impor untuk bahan baku, pengembangan industri pariwisata serta industri kreatif  dan upaya lain memang perlu terus dilakukan. JIka tidak rupiah akan terus mengalami pelemahan dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H