Di dunia ini ada 700-800 juta umat Buddha dan 1 milyar lebih umat Hindu, mereka akan berbondong-bondong datang ke sini lagi. Selain itu, kita perlu mendirikan juga kursus singkat di sekitar komplek Kraton Ratu Boko.
Antara lain berupa kursus membatik, mendalang, membuat wayang, membuat layang-layang, membuat tempe dan tahu, dst. Kearifan budaya lokal ini bisa menjadi magnet bagi para turis dalam negeri maupun internasional. Selain itu, tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Di era globalisasi ini, pariwisata yang paling laku memang wisata agama. Sungai Gangga, Kota Suci Yerusalem, Mekah, Vatikan, dll tetap ramai walau dunia mengalami resesi ekonomi sekalipun seperti sekarang.
Di Jateng-DIY tak hanya Borobudur dan Prambanan. Masih banyak peninggalan bersejarah kaya filosofi lainnya. Salah satunya tentu Kraton Ratu Boko ini. Pulau Jawa dan juga Nusantara memang merupakan melting point of culture alias titik pertemuan pelbagai budaya dari seluruh penjuru dunia.
Kita perlu belajar dari Arab Saudi. Mereka mampu meraup 18 trilyun US Dollar (2009) dari ibadah haji setiap tahunnya. Selain itu, wisata agama perlu dimajukan menjadi wisata budaya spiritual. Di setiap tempat pemujaan itu, perlu ada tempat dialog dan sharing. Sehingga para pengunjung bisa belajar saling mengapresiasi pelangi perbedaan di antara sesama umat manusia.
Kita juga harus mengangkat kembali nilai-nilai budaya lokal. Warisan leluhur seperti Kitab Wedhatama karya Mangkunegara IV musti dikaji dan direvitalisasi. Sehingga para pemandu wisata bisa menjelaskan filosofi esoteris tersirat di balik apa yang terlihat dan kasat mata.
Tepat 5000 tahun silam sebelum tsunami 100 meter menerjang kepulauan Nusantara, leluhur kita masih berada dalam satu peradaban dengan India. Istilah Hindu bukan mengacu pada satu agama tertentu. Bahkan di dalam Kitab Negara Kertagama (200 tahun silam) tak ditemukan kata tersebut.
Menurut sejarawan Al Beruni, bangsa ini ialah anggota masyarakat berperadaban Hindu. Lokusnya membentang dari Himalaya sampai ke Australia. Istilah Hindu, Sind, Hind, Indies merupakan sebuah cara hidup (way of life). Sehingga wajar kalau ada banyak kesamaan antara India dan Indonesia. Salah satunya dalam wujud bangunan candi.
Akhir kata, leluhur kita tentu membangun Candi Ratu Boko tak berhenti sebagai sarana ritual formalistik. Tapi lebih sebagai pusat pendidikan budi pekerti bagi generasi masa depan. Semangat budaya inklusif tersebut yang musti dibangkitkan kembali. Menyitir pendapatFyodor Dostoyevsky (1821-1881), “Elemen terpenting kita bukan pada otak. Namun, pada apa yang menuntun otak kita–kepribadian, hati, kebaikan, dan ide-ide progresif.”