Sejak kecil Djoko Pekik terbiasa menggarap sawah. Saat itu, mereka sedang masa paceklik (susah). Situasi ini diperparah dengan meletusnya pemberontakan tentara "merah" pada 1948-1949 di Madiun.
Dalam buku ini dikisahkan pada usia 11 tahun Djoko Pekik didaulat menjadi pemain ketoprak. Para tentara rakyat mengajarinya berakting, sebagai selingan zaman perang. Ia memerankan lakon Klenting Kuning, seperti  termaktub dalam kisah Ande-ande Lumut. Pertunjukan digelar di kota Kecamatan. Ia musti pergi-pulang dengan berjalan kaki sejauh 30 km.
Orang tua Djoko Pekik memiliki 12 anak. Keduanya berturut-turut wafat pada 1960 dan 1970. Sehingga ia tak dapat membalas budi baik mereka. Saat itu Djoko masih mendekam di dalam penjara (1970). Djoko Pekik dituduh oleh rezim orba terlibat dalam aliran kiri. Ia memang terkenal sebagai salah satu seniman LEKRA.
Buku ini juga memuat teladan kehidupan orang tua PM Laksana. Antropolog kondang ini mengaku sempat merasa ragu sebelum menulis kesaksian tentang orang tuanya. Ia bukanlah seorang nabi, kenapa musti mewartakan hal-hal yang bersifat personal kepada dunia. Setelah lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk sharing juga karena memang ia banyak belajar dari kedua orang tuanya (halaman 321).
Orang tua PM Laksana ialah seorang petani. Kakek dan neneknya juga petani dan pedagang tradisional. Ayahnya ialah mantan preman pasar. Ia bertobat karena pernah menempeleng dan seketika orang itu terkapar pingsan. Ayahnya menyadari betapa dahsyat kekuatan yang dimiliki. Lantas ayahnya memutuskan memakai kekuatan tersebut bukan untuk menaklukkan orang lain, melainkan untuk mengalahkan diri sendiri.
Dari sang ayah, PM Laksana belajar ketegasan. Hidup dimaknai sebagai perjuangan. Pendidikan tak hanya di sekolah, tapi juga di dalam keseharian. Ia berani melawan kemalasan diri sendiri. Sang ayah memberi contoh lewat tindakan sederhana.
Buku ini memverifikasi kebenaran sederhana, “Sejarah pribadi kita bisa jadi sejarah besar. Setiap orang ialah orang besar. Kisah hidup kita menyiratkan keagungan Sang Pencipta. Hidup bukan sekedar materi, tapi penuh bergelimang berkah. Selamat membaca dan meneruskan anugerah tersebut bagi sesama.
T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru SMA Budya Wacana Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H