Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengungkap Pengalaman Orang Tua

8 Agustus 2011   07:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kecil Djoko Pekik terbiasa menggarap sawah. Saat itu, mereka sedang masa paceklik (susah). Situasi ini diperparah dengan meletusnya pemberontakan tentara "merah" pada 1948-1949 di Madiun.

Dalam buku ini dikisahkan pada usia 11 tahun Djoko Pekik didaulat menjadi pemain ketoprak. Para tentara rakyat mengajarinya berakting, sebagai selingan zaman perang. Ia memerankan lakon Klenting Kuning, seperti  termaktub dalam kisah Ande-ande Lumut.  Pertunjukan digelar di kota Kecamatan. Ia musti pergi-pulang dengan berjalan kaki sejauh 30 km.

Orang tua Djoko Pekik memiliki 12 anak. Keduanya berturut-turut wafat pada 1960 dan 1970. Sehingga ia tak dapat membalas budi baik mereka. Saat itu Djoko masih mendekam di dalam penjara (1970). Djoko Pekik dituduh oleh rezim orba terlibat dalam aliran kiri. Ia memang terkenal sebagai salah satu seniman LEKRA.

Buku ini juga memuat teladan kehidupan orang tua PM Laksana. Antropolog kondang ini mengaku sempat merasa ragu sebelum menulis kesaksian tentang orang tuanya. Ia bukanlah seorang nabi, kenapa musti mewartakan hal-hal yang bersifat personal kepada dunia. Setelah lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk sharing juga karena memang ia banyak belajar dari kedua orang tuanya (halaman 321).

Orang tua PM Laksana ialah seorang petani. Kakek dan neneknya juga petani dan pedagang tradisional. Ayahnya ialah mantan preman pasar. Ia bertobat karena pernah  menempeleng dan seketika orang itu terkapar pingsan. Ayahnya menyadari betapa dahsyat kekuatan yang dimiliki. Lantas ayahnya memutuskan memakai kekuatan tersebut bukan untuk menaklukkan orang lain, melainkan untuk mengalahkan diri sendiri.

Dari sang ayah, PM Laksana belajar ketegasan. Hidup dimaknai sebagai perjuangan. Pendidikan tak hanya di sekolah, tapi juga di dalam keseharian. Ia berani melawan kemalasan diri sendiri. Sang ayah memberi contoh lewat tindakan sederhana.

Buku ini memverifikasi kebenaran sederhana,  “Sejarah pribadi kita bisa jadi sejarah besar. Setiap orang ialah orang besar. Kisah hidup kita menyiratkan keagungan Sang Pencipta. Hidup bukan sekedar materi, tapi penuh bergelimang berkah. Selamat membaca dan meneruskan anugerah tersebut bagi sesama.

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru SMA Budya Wacana Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun