Hingga artikel ini ditulis Anand Krishna masih melakukan aksi mogok makan. Ia memprotes keputusan Hari Sasangka yang mengeluarkan Surat Penetapan Penahanan pada Rabu (9/3) silam di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Keputusan Hakim Ketua tersebut dinilai melanggar KUHP dan kode etik seorang hakim.
Senada dengan pendapat pengacara senior Adnan Buyung Nasution, “Sudah 50 tahun saya bergelut di bidang hukum. Baru kali ini saya ketemu yang seperti ini, ada hakim yang menempatkan orang dalam posisi bersalah sebelum menjatuhkan putusan resmi pengadilan." (Kompas.com, 24/3/2011).
Lebih lanjut, mekanisme mogok makan dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk perjuangan, baik untuk memprotes ketidakadilan maupun untuk mempertahankan sesuatu yang diyakini, dengan jalan damai (Wisnu Dewabrata, Kompas, 19/1/2006).
Secara lebih mendalam, perjuangan tanpa kekerasan (ahimsa) tersebut bukan sekedar mencari sensasi, melainkan untuk mendorong perubahan sosial. Kebanyakan pelakunya menerima cairan atau minuman, tetapi menolak makanan yang solid.
Kini pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) itu mendekam di LP Cipinang. Peristiwa langka ini menyedot perhatian publik, baik dari dalam maupun luar negeri. Sebab durasinya tak sebentar, sudah sebulan tak sebulir nasipun masuk ke perut penulis 140 buku tersebut.
Mahatma Gandhi saja selama mempraksiskan Satyagraha dengan metode mogok makan di India (1922, 1930, 1933, dan 1942) pada masa pemerintahan kolonial Inggris tak pernah sekalipun melebihi waktu 3 minggu.
Awalnya cara protes menuntut keadilan ini ditemukan di Irlandia. Yakni pada masa pra-Kristen. Lazimnya disebut Troscad atau Cealachan. Aksi mogok makan acapkali digelar di depan pintu rumah si pelanggarnya.
Hal ini terkait dengan budaya masyarakat setempat. Membiarkan seseorang mati di dalam atau di depan rumah karena kesalahan yang dituduhkan, dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan.
Tak bisa dipungkiri Republik ini berada diambang jurang disintegrasi. Konflik horisontal meregangkan perekat sendi kehidupan berbangsa. Masyarakat majemuk yang seyogianya hidup berdampingan dalam sikap saling apresiatif sesuai falsafah adiluhung “Bhinneka Tunggal Ika,” kini justru terjadi saling curiga karena sentimen berbau sektarian dan primordial.