Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010111006033177Â dan Surat Pembaca HARJO Kamis, 11 November 2011
LUBANG berukuran 280 meter kubik menampung ke-74 jenazah korban erupsi Merapi. Seperti kita ketahui bersama, pada Jumat (5-11) dini hari Merapi kembali meletus dahsyat dan menyemburkan awan panas ke arah 22 dusun di daerah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Rumah, harta benda, ternak, tanaman, dan—last but not least—penduduk di sana yang terlambat mengungsi ke zona aman tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik.
Kemudian, para almarhum dikebumikan secara massal pada Minggu (7-11) pukul 18.15 WIB, tepatnya di Taman Permakaman Umum (TPU) Beran Seyegan, Godean, Sleman Barat, Yogyakarta.
Sinar lampu menerangi, rapalan doa mengiringi. Isak tangis sanak famili tercinta merindingkan bulu roma.
Sebelumnya, sejak pukul 15.00 WIB, para pelayat; warga sekitar; praktisi media cetak, online, dan televisi; berkumpul di sana menanti kedatangan ambulans dari RS. dr. Sardjito Yogyakarta. Sebuah traktor menggali lubang 7×20x2 meter tersebut.
Penulis merasa emosional menyaksikan prosesi ini. Apalagi bau anyir begitu menyengat. Beberapa jenazah tak bisa dikenali lagi tubuhnya sehingga pada nisan hanya ditulisi identitas: Mr./Mrs. X.
Saking membeludaknya jumlah pengunjung, mereka sampai berjejalan di seputaran liang lahat. Tekstur tanah perbukitan makam membuat para pelayat terpaksa berjajar di tepian tebing-tebing curam. Panitia memperingatkan agar mereka menjauh dari tebing untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan.
Seruan itu mengingatkan penulis akan tragedi kemanusiaan Merapi. Andai saja pemerintah dan aparat berwenang lebih sigap memberi peringatan dini semacam itu. Bila perlu dengan cara paksa memboyong semua warga dari kawasan rawan bencana ke radius zona aman. Bukankah negara merupakan lembaga yang diberi kuasa untuk melakukan tindakan tegas demi keselamatan rakyat dari kemungkinan terburuk?
Dengan demikian, tak perlu ada korban jiwa berjatuhan, tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik. Sampai coretan ini dibuat, tercatat tak kurang dari 100 nyawa melayang sia-sia. Anak kehilangan orang tuanya, orang tua menangisi kepergian anaknya, sanak famili meratapi tragedi yang datang tanpa dinyana.
Akhir kata, semoga arwah para korban diterima di pangkuan-Nya. Semoga tidak ada lagi korban erupsi Merapi ataupun ancaman sekunder banjir lahar dingin. Semoga aktivitas Merapi segera mereda. Semoga kita belajar dari seduhan kopi pahit pengalaman hidup ini, baik secara individu maupun kolektif. Alam tak bisa ditaklukkan. Manusialah yang musti menyelaraskan diri dengan segenap titah ciptaan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H