[caption id="attachment_301067" align="alignleft" width="250" caption="Kang Harry on line di atas becaknya"]S[/caption] Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010102502170067 Menurut kajian ilmu sosial dan politik, setiap kebijakan publik (public policy)musti memenuhi 4 kriteria pokok. Pertama, mampu meningkatkan kesejahteraan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Kedua. diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Ketiga, dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan. Keempat, tentu saja dibuat oleh pejabat publik yang berwenang. Dalam arti dipilih oleh Rakyat dan dilantik oleh Negara.
Namun fakta di lapangan berbanding terbalik. Banyak pejabat publik melanggar rambu-rambu di atas. Baik itu di level Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. Misalnya, yang paling aktual ialah hajatan studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Yunani.
Pertanyaan kritisnya ialah: Pertama, apakah kebijakan publik yang notabene didanai oleh uang pajak tersebut mampu meningkatkan kesejahteraanwong cilik yang mereka wakili? Atau justru menciderai para konstituen di akar rumput (grass root)? Penulis berani bertaruh, pada Pemilu mendatang akan semakin banyak kader Golput (Golongan Putih).
Kedua, apakah kebijakan itu diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan? Atau sekedar untuk anggota keluarga mereka di rumah? Yang tentunya menanti dengan mata berbinar oleh-oleh dari luar negeri. Ketiga, apakah dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan? Atau malah semakin membuat rakyat muak menyaksikan insensitifitas para elit politik. Terakhir, apakahkebijakan itu dibuat oleh pejabat publik yang berwenang? Atau sebuah bentuk nyata dari penyalahgunaan jabatan?
Dalam tradisi Kejawen, inilah yang disebut dengan mentalitas aji mumpung. Selagi masih berkuasa sedapat mungkin mencari keuntungan semaksimal mungkin untuk menutup biaya kampanye yang dahulu dikeluarkan. Agar neraca keuangan dapat segera mencapai titik BEP (Break Even Point). Syukur-syukur bila bisa memperoleh surplus selama 5 tahun masa jabatan. Sehingga kelak saat mencalonkan diri kembali telah memiliki cukup tabungan untuk biaya money politics. Inilah lingkaran setan politik nasional. Semata menjadi lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Tentu tetap ada pengecualian. Masih ada negarawan yang sungguh melihat kekuasaan sebagai sarana pelayanan terhadap Nusa dan Bangsa. Secara lebih luas, menurut Anand Krishna (Self Leadership, 2004) sejatinya untuk berbhakti kepada Ibu Pertiwi, kita tak perlu memiliki jabatan terlebih dahulu. Segenap anak bangsa bisa berkontribusi bagi masa depan yang lebih cerah. Sesuai dengan kapasitas di lingkar pengaruhnya masing-masing.
Penulis mengambil satu contoh kecil saja. Yakni Kang Harry Van Jogja, seorang penarik becak asal Bantul. Ia biasa mangkal di daerah Prawirotaman Yogyakarta. Uniknya, Kang Harry “bersenjatakan” Laptop untuk mencari pelanggan di dunia maya. Dalam account Facebook-nya saat ini hampir 4.000 teman (friends). Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan para wisnu (wisatawan nusantara) dan wisman (wisatawan mancanegara) harus memesan dulu (pre-order) lewat e-mail atau inbox FB bila hendak diantar naik becak mengelilingi kota Yogyakarta.
Perjuangan hidup Kang Harry di jalanan. Ditimpa terik matahari dan diguyur hujan tatkala menemani para tamu menikmati keindahan Bumi Mataram bisa menjadi tamparan bagi wakil rakyat dan pejabat publik kita. Ternyatadalam mencari nafkah dan berbhakti bagi tanah tumpah darah tercinta ini tak harus dengan cara menyalahgunakan kekuasaan dan menghisap sesama anak bangsa. Masih ada seribu satu jalan yang halal, cerdas, dan elegan.
Dokumentasi dalam bentuk film dokumenter dan komik bergambar ihwal kehidupan sehari-hari Kang Harry – seorang yang notabene tanpa gelar akademis dan jabatan tertentu – tapi tetap bisa memberi warna tersendiri dalam kehidupan ini layak kita tonton, baca serta renungkan bersama. Ia mengharumkan nama Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kebijakan publik yang melulu mensejahterakan kelompok elit tertentu jelas bukan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap amanah penderitaan rakyat. Kebijakan publik yang diskriminatif Gender dan SARA juga bukan kebijakan, melainkan manipulasi kekuasaan untuk agenda politik tertentu.
Akhir kata, kebijakan publik yang efeknya hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dekat dengan kursi kekuasaanjelas bukan kebijakan, melainkan penyalahgunaan wewenang. Pejabat publik yang hanya memikirkan citra diri bukan pemimpin sejati. Lebih baik mundur dan memberi kesempatan kepada kaum muda agar kami juga dapat belajar membuat kebijakan publik yang benar. Dalam arti sungguh berpihak kepada kepentingan Rakyat dari Sabang sampai Merauke. Sumber Foto: http://www.facebook.com/profile.php?id=848694905&v=photos#!/photo.php?fbid=424920774905&set=a.436423709905.237696.848694905
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H