Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Maret 2014
Judul: Menolak Lupa
Penulis: Faidi A Luto
Penerbit: Palapa
Cetakan: I/2013
Tebal: 152 halaman
ISBN: 978-602-7968-00-4
Menolak Lupa memuat sederet tragedi kemanusiaan yang terjadi di bumi Nusantara tercinta. Mulai dari tragedi Trisakti, penculikan penyair cadel Wiji Thukul, terbunuhnya aktivis prodem Munir, hingga kasus kekerasan di pedalaman Papua.
Penulis memaknai sederet insiden berdarah tersebut sebagai potret buram perjalanan republik. Ironisnya, praktik kekerasan terus menghantui hingga kini. Padahal penghilangan paksa jelas sebuah preseden buruk. Sebab aparat sebagai perpanjangan tangan negara diduga terlibat dalam sejumlah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) tersebut.
Terkait insiden penembakan misalnya, masih lekat dalam ingatan kolektif kita nama Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Tunas-tunas muda tersebut meregang nyawa di Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 silam. Mereka menghembuskan nafas terakhir pascakepala dan dadanya tertembus peluru tajam (hlm 19). Puluhan tahun penembakan brutal terhadap aksi mahasiswa itu telah berlalu. Tapi begitu banyak misteri menyelimuti. Siapa yang bertanggung jawab? Tak jelas dan dibiarkan tetap abu-abu.
Sistematika buku ini memaparkan 22 tragedi kemanusiaan. Semua perbuatan keji itu mengingatkan pada teori psikolog kondang asal Austria, Konrad Lorenz. Menurut Lorenz, kekerasan di samping rasa lapar, takut, dan nafsu seks merupakan naluri dasar manusia.
“Mereka merebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembaki rakyat, tetapi kemudian bersembunyi di balik ketiak kekuasaan.” Demikian petikan orasi Munir yang termaktub dalam buku ini. Aktivis prodem tersebut meneriakkannya tatkala berdemo di depan kantor Kejaksaan Agung. Ia mengkritisi putusan bebas terhadap para tersangka kasus Tanjung Priok.
Karena keberaniannya memperjuangkan keadilan, pria asal Malang tersebut diracun arsenik pada 7 September 2004 silam. Di atas pesawat Garuda GA-974 Munir menghembuskan nafas terakhir. Semula pria bernama lengkap Munir Said Thalib itu berpamitan kepada keluarga hendak melanjutkan kuliah pascasarjana di Belanda. Siapa sangka perjalanan tersebut justru menjadi titik akhir ziarah hidupnya.
Penulis mengungkap satu kejanggalan dalam penyelidikan kasus Munir. Kenapa proses autopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda (NFI) begitu lama (sampai awal November 2004). Artinya, itu hampir 2 bulan pascakejadian. Bisa jadi darah dan organ tubuh Munir telah diganti dengan milik orang lain untuk menghapus jejak pelaku (halaman 38).
Intimidasi terhadap keluarga Munir juga terus terjadi. Pada 20 November 2004 silam, Suciwati menerima paket berisi kepala, ceker, dan kotoran ayam yang berbau busuk. Di dalamnya terdapat pula ancaman verbal yang tak etis terhadap istri almarhum.
Selanjutnya, buku ini juga mengungkap ihwal penyair cadel yang hingga kini belum kembali. Wiji Thukul tercatat dalam daftar aktivis penculikan selama periode 1997-1998. Ia (di)hilang(kan) bersama Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katri, Isma'il, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Mudidin, dan Abdun Nasser.
Hingga kini keluarga mereka terus menanti kejelasan. Ironisnya, pemerintah masih terus melakukan pembiaran (omission by state). Seolah negara tidak memiliki power (kekuatan) dan political will (komitmen politik) untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Padahal penculikan dan penghilangan paksa merupakan crimes against humanity, yakni sebuah kejahatan yang memasung rasa kemanusiaan kita.
Berikut ini petikan puisi karya suami Sipon yang sering dibacakan oleh para aktivis prodem untuk memperjuangkan hak-hak rakyat jelata. “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!!!” (halaman 62).
Tiada gading yang tak retak, begitupula buku setebal 152 halaman ini. Sumber yang dipakai oleh penulis mayoritas rujukan sekunder. Yakni berupa liputan berita, siaran pers, majalah, dan opini para akademisi. Alangkah lebih baik jika penulis juga turun ke bawah dan melengkapinya dengan wawancara dengan pihak keluarga dan rekan-rekan seperjuangan korban.
Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku ini layak mendapatkan apresiasi. Sebab secara gamblang menunjukkan keberpihakan terhadap korban ketidakadilan sistemik. Untuk menuliskan dan menerbitkannya tentu butuh keberanian. Menyitir pendapat Albert Einstein (1879-1955), ”Kejahatan terus terjadi karena orang-orang baik memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H