Acara malam itu juga dimeriahkan dengan aneka sajian seni dan budaya. Antara lain kelompok karawitan Santi Laras dari Turi, Yogyakarta, bhajan dari Komunitas Muda-mudi Hindu Narayana Semitri, petikan siter dan tembang Jawa dari Aris, dan pembacaan pernak-pernik kehidupan Romo Mangun oleh Nasarius Sudaryono. Dari situ tampak jelas bahwa sosok Romo Mangun dapat diterima oleh semua golongan dan lintas generasi pula.
Ramah Lingkungan
Ada sebuah kisah unik. Menurut Romo Yatno, almarhum sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok. Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir.
Romo Mangun ternyata juga suka membuat kolam ikan. Karena itu merupakan AC/pendingin alami. Kalau orang marah melihat ikan-ikan berenang-renang di kolam sontak bisa mereda tensinya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.
Dari aspek teologis, tesis Kiai Muhaimin ada benarnya. Agama-agama saat ini cenderung bersifat teosentris. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan kurang mendapatkan tempat. Bahkan hanya karena perbedaan pada aspek teologis, antar sesama manusia bisa saling ejek dan bersitegang. Dalam konteks ini, teladan kehidupan Romo Mangun dan Gus Dus tetaplah relevan. Beliau-beliau menggeser kecenderungan teosentris ke antroposentris. Bahkan tak hanya menjunjung tinggi kemanusiaan tapi juga sampai memuliakan lingkungan dan segenap titah ciptaan Tuhan.
Salah satu ilmu dari Romo Mangun ialah ngelmu selang atau paralon. Intinya, karunia Allah itu tak boleh dinikmati sendiri. Karena kalau disalurkan dan dibagikan kepada sesama bisa menyegarkan semua. Mirip seperti selang atau paralon air, kalau tersumbat bisa jebol. Tapi kalau dipakai untuk menyirami tanaman atau mengisi air kolam bisa memberi kehidupan. Selain itu, selang dan paralon juga tak pernah kering karena menjadi saluran untuk berbagi berkah.
Ada juga kisah menarik dari Anton Soedjarwo. Ia ketua Yayasan Dian Desa Yogyakarta. Pria berusia 66 tahun tersebut pernah tinggal serumah bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama), dan dr. Sarino (Pendiri Taman Siswa) di Bali selama beberapa hari. Karena mereka menghadiri suatu pertemuan lintas iman.
Pada malam hari seusai seminar, mereka sering berbincang-bincang santai di ruang tengah. Intinya, semua setuju kalau penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan kepercayaan di dunia ini karena manusia terlalu mementingkan bungkus luaran. Senada dengan pendapat Anand Krishna Ph.D, padahal esensinya kan sama, yakni berbagi kehidupan dengan cinta dan kasih.
Akhir kata, seiring makin memanasnya suhu politik nasional jelang hajatan Pemilu 2014, dialog kebangsaan dan reaktualisasi pemikiran Romo Mangun kian menemukan relevansinya. Semoga gerakan-gerakan komunal menuju perdamaian multikultural dan lintas iman (interfaith) seperti yang dicita-citakan almarhum bisa segera terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H