Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sisi Lain Putra Sang Fajar

30 Januari 2015   05:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422545070814265709

Dimuat di Tribun Jogja, 14 Desember 2014

Judul: Sukarno Undercover, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen

Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge

Penerbit: Galang Pustaka

Cetakan: 1/Oktober 2013

Tebal: ix + 209 halaman

ISBN: 978-602-9431-29-2

Walentina Waluyanti de Jonge, perempuan kelahiran Makassar yang kini hijrah ke Belanda. Alumna Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini sempat mengikuti program studi Pendidikan Managemen di ROC Flevoland, Netherland. Lalu, ibu beranak satu ini menjadi dosen bahasa Indonesia di Volsuniversiteit Belanda. Ia bekerja juga sebagai peneliti independen. Fokus kajiannya seputar sejarah dan budaya Indonesia.

Kegemarannya mengoleksi buku langka bergenre sejarah membuahkan dua buku dan sederet artikel di sebuah situs jurnalisme warga. “Sukarno Undercover, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen” merupakan buku kedua pasca “Hindia Belanda Tumbang di Depan Mata”. Pilihannya jatuh pada Sukarno karena Putra Sang Fajar sosok pemersatu di zamannya.  Menyatukan berbagai perbedaan suku, agama, warna kulit, golongan, budaya, dan juga belasan ribu pulau, ke dalam sebuah republik bukan pekerjaan yang bisa dipandang remeh.

Di bagian pengantar, eks pemimpin  “Stiching SEBARI” yang bergerak di ranah pendidikan tersebut menulis, “Saya akui, buku ini terlahir dari kekaguman atas peran Sukarno yang telah melekatkan kehormatan pada bangsa Indonesia hingga berdiri sejajar dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Namun demikian, pemujaan berlebihan terhadap Sukarno bukanlah hal yang perlu. Pemujaan secara fanatik berpeluang melunturkan objektivitas.” (halaman viii)

Lewat buku ini, penulis jeli menyoroti sejarah Indonesia - khususnya Soekarno - dari jendela luar sana (baca: Belanda). Sebelumnya, selama masih tinggal di Indonesia, ia acap mendengar cerita sejarah dari pihak yang dijajah. Dalam konteks ini, memang diperlukan jarak untuk menilai sejarah Indonesia secara netral. Sehingga “History” tidak menjelma jadi “His Story.” Terlebih pada masa Orde Baru, sisi positif Bung Karno dan nilai-nilai kepahlawananya cenderung ditutup-tutupi.

Lebih lanjut, sejak era revolusi kemerdekaan ternyata situasi nasional Indonesia tak kunjung steril dari campur tangan pihak asing. Fakta tersebut diungkap secara gamblang dalam esai “Bung Karno Geram, Ike dan John Repot”. Hari itu, 18 Mei 1958, sedang terjadi pertempuran udara melawan pemberontakan separatis: Permesta, Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII), dan Republik Maluku Selatan (RMS). Di atas perairan Ambon, Kapten Ignatius Dewanto, pilot pesawat Mustang P-51, menembak jatuh pesawat B-26. Pesawat tempur yang jatuh tersebut dipiloti Allen Pope. Pilot itu selamat, dibekuk, dan dinterogasi. Pun terkuaklah bahwa Allen Pope seorang agen CIA.

“Sebelumnya pada bulan April 1958, pilot asal Amerika Serikat itu telah mengebom gereja di Ambon yang dipenuhi umat yang sedang beribadah. Gerejanya hancur, semua umat di gereja itu meninggal dunia. Demikian juga dengan kapal Indonesia penuh penumpang yang berada di pelabuhan Ambon, turut pula terkena bom, dan semua penumpangnya menjadi korban. Peristiwa pengeboman tersebut mengakibatkan lebih dari 700 nyawa melayang.” (halaman 140).

Bung Karno berang karena Amerika tak mau mengakui tindakan keji tersebut. Empat hari pasca-peristiwa pengeboman oleh Pope, Sukarno diundang oleh Howard Jones ke Kedutaan Besar Amerika di Indonesia. Tanpa rasa bersalah Pemerintah Amerika meminta Allen Pope tetap harus dibebaskan. Bung Karno menyadari Allen Pope ialah kartu truf-nya. Ia tegas menuntut permintaan maaf secara terbuka dari Amerika.

Namun Ike – nama panggilan presiden Eisenhower - bersikukuh menyangkal tuduhan Amerika terlibat dalam aksi CIA itu. Tapi, akhirnya 5 hari sesudah insiden pengangkapan Pope,  Amerika setuju mengirimkan 37.000 ton beras, pencabutan embargo, bantuan pesawat, dan bantuan peralatan sistem radio komunikasi untuk Indonesia. Lalu, bagaimana komentar Pope sendiri? Pilot pesawat B-26 itu mengatakan, “Biasanya negara saya yang menang, tapi kali ini kalian yang menang.” (halaman 148).

Sistematika buku ini terdiri atas 3 bab. Penulis menganalogikannya laksana hari. Mulai dari “Sang Fajar Terbit”, “Sang Fajar Bersinar”, hingga “Sang Fajar Terbenam.” Masing-masing bab memuat esai-esai yang mengungkap sisi lain Bung Karno yang selama ini jarang diekspose ke khalayak ramai. Oleh sebab itu, di pojok kanan sampul buku tertera stempel “Soekarno Undercover”.

Salah satunya ihwal keprihatinan mendalam Bung Karno atas tragedi 1965. Dalam Pidato Presiden di Istana Bogor, 18 Desember 1965, ia sampai mengatakan,”Misalnya, ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan informasi kami sendiri, di Jawa Timur atau Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya simpati saja kepada PKI dibunuh, disembelih, atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian. Tapi kemudian itu jenasah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenasah itu kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa ngerumat, mengurus, ngerumat jenasah itu, awas, engkau pun akan kami bunuh. Malah banyak jenazah itu di-keleler-kan begitu saja.”

Lalu, Walentina Waluyanti de Jonge mengafirmasi pendapat sejarawan Asvi Warman Adam, tanggal 30 September memang “malam terkutuk dan laknat”. Namun patut juga dipertanyakan, “….bukankah malam-malam sesudahnya dan berlangsung selama beberapa bulan tatkala terjadi pembunuhan sesama bangsa sendiri – minimal 500.000 jiwa jadi korban – itu secara keseluruhan jauh lebih “jahanam”?” (halaman 173). Dalam konteks ini, wejangan ahimsa Mahatma Gandhi kian menemukan relevansinya, “Jika mata diganti mata maka semua manusia akan menjadi buta.”

Buku setebal 209 ini tak hanya memuat teori konspirasi dan narasi besar sejarah Indonesia di tahun 1965, ada juga sisi-sisi jenaka sebagai ekses kebijakan politik Bung Karno. Antara lain terjadi pada tahun 1964. Ia pernah memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model Beatles ke tukang cukur. Ini sebuah pidato resmi presiden.

Siapapun yang berambut gondrong harus diplontos. Kenyataannya di lapangan memang polisi tidak perlu membawa “pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena aparat keamanan sendirilah yang menjadi tukang cukurnya. Mungkin itulah razia paling konyol dalam sejarah bangsa Indonesia. Orang-orang yang terkena razia, terpaksa manut saja model rambut di kepalanya dibuat jadi mirip batok kelapa. Langsung dipangkas di tengah jalan dan jadi tontonan orang banyak (halaman 52).

Buku ini sebuah oase segar di tengah tumpukan buku-buku sejarah yang kering. Gaya penulisan yang santai, bahasa yang mengalir lancar, dan materi yang mudah dicerna menyajikan kenikmatan tersendiri. Belajar sejarah tak melulu harus mengeryitkan dahi, belajar (dari) sejarah bisa menjadi penjelajahan penuh kejutan. Selamat membaca!

[caption id="attachment_348592" align="aligncenter" width="276" caption="Sumber: www.galangpress.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun